Wednesday 4 July 2012

Mbak Jamu di Victoria

"Manusia itu butuh satu tantangan, D'Ris!" kata pacarku. Begitulah kira-kira bunyi kalimatnya.
Dan, kalimat itulah, semalaman aku tak bisa tidur memikirkan pacarku yang berkulit hitam. Eh, bukan memikirkan ia, tapi memikirkan kalimatnya.

Hari ini ia mengajakku ke studio percetakan miliknya. Langit diluar begitu cerah, menembus masuk lewat jendela kaca. Hal ini mengingatkanku akan suatu tempat yang belum lama ini aku tinggalkan. Sementara, ku lihat pacarku yang tengah sibuk melayani konsumen. Membuatku sedikit terabaikan. 

Iseng aku pun menungguinya di luar ruangan, di bangku panjang yang menghadap ke area perkebunan teh. Di mana udara segar bisa ku nikmati.



Hari itu, langit di atas lapangan rumput Victoria begitu indah, cerah memberi warna indah pada penjejak-penjejak alam kehidupan. Awan putih yang berbaur dengan warna biru, matahari yang menyembulkan jambul menembus celah-celah ranting berembun, hingga tembus memanah wajahku.

"Amboiii...!!!" 

Kataku, ketika semilirnya angin membelai mesra pipi tembemku. Tentu saja aku meresapinya dengan perasaan, hingga bau rumput-rumput itu ter endus oleh indraku. Mataku terpejam untuk beberapa saat, ku fokuskan pikiran pada satu titik 'damai' di hatiku.

Hari itu memang masih terlalu pagi untuk libur pekanku. Kebetulan nenek yang ku rawat ke Jepang, katanya sih ada pernikahan anaknya yang termuda. Jadi, untuk seminggu itu aku jadi Ratu sementara. Ku lupa sebentar predikat kebabuanku. 

Terdengar seseorang menjajakan dagangannya.

"Jamu mbak e, peyek, bakso, gorengane, kartu-kartune?" 

Aku hanya tersenyum, sambil ku lambaikan tangan pertanda tidak mau.
Ia seorang BMI sepertiku yang juga tengah berlibur. Hanya saja kami berbeda tujuan liburan.
Kalau aku hanya bersenang-senang saja, sedangkan ia memanfaatkannya untuk mencari peluang sebanyak-banyaknya. Contohnya ya dengan membuang rasa gengsinya memanfaatkan keahliannya.



Tetapi, sudah bukan hal asing lagi, dengan adanya peluang yang bagus maka juga tak menutup kemungknan adanya tantangan yang besar. Dan, salah satu tantangan itu, adalah 'Pak Dhe'. Ya, begitulah kami menyebutnya, petugas imigrasi yang biasanya menangkapi pedagang-pedagang yang tak memiliki izin berdagang. Ya, seperti mbak penjual jamu tadi.

Mereka itu seperti monster di kalang kami. Meski pun begitu, Pak Dhe dan tindakannya tak pernah sedikit pun menggetarkan rasa takut di hati kalangan BMI. Khususnya teman-teman yang mengisi liburan dengan sepanduk mencari peluang. Yang berpedoman pada satu kejujuran.

"Salut!!!" sering aku bergumam dalam ruang gengsiku. 

9:30 pagi

Victoria yang baru beberapa saat masih ku jumpai sepi, semilir, rindang, tenang, dan lalu tiba-tiba terasa bising, ramai, banyak teman-teman yang berdatangan. Mereka bergerombol satu dengan yang lain, mencari sudut-sudut yang tak panas. Tentu saja tikar seharga $HK 5 sebagai alas bokong tak ketinggalan. Bentangan yang panjangnya ± 3 meter itu pun penuh dengan kebersamaan bokong-bokong pembuang penat setelah seminggu bekerja.

"Dorr!!" Dara mengagetkanku.

"Woe... Dor... dor... dorrr...!"

Aku yang latah pun kaget dengan kehadiran Dara yang tiba-tiba. Dara pun tertawa terpingkal-pingkal dengan ekspresi culunku.

"Masih pagi, ojo ngelamun. Kesambet PKS tau nyahok kau!" (TKA Pakistan biasa kami menyebutnya PKS).

"Kau ini bukannya minta maaf malah ngeledek!" 

Semprotku sewot.

"Haha.. Sorry, aku kan bercanda!"

"Iya, uda di maafin."

"Hari ini kita kemana?"

"Aku ingin duduk-duduk sekitar sini aja, lagi males aku."

"Ah, kau ini. Ya sudah aku mau ke Laguna saja, nemuin si Paijo!"

"What? Kau punya Paijo? Di sini?" tanyaku tak percaya

"Iya!"

"Yakin, Dara?!" 


Tanyaku yang masih tak percaya. Dara memang perempuan cantik, tubuhnya masih sexi, dengan dandanan modis setiap kali liburan, tak ada yang tau bahwa dia adalah seorang ibu, dari dua anaknya.

Dara hanya tersenyum, lalu cupika-cupiki memelukku sebelum lenggang kangkung lalu menghilang menerobos ramainya kawanan BMI yang memadati pintu taman lapangan.

Dari berbagai macam dandanan-dandanan, yang model allay, sampai Lady Lady Gaga, dari yang berjambul katulistiwa sampai jambul-jambul terowongan pun ikut berjumpal di tempat ini. Dari yang ndeso sampai yang nge-Amrik pun tak kalah saing.

Di sisi lain di tengah ramainya para pejalan kaki, beberapa teman BMI ber pakaian super allay, mulai dari celak mata yang super hitam tebal, celana jins jebol mobol-mobol, dengan rambut landak berjeli kaku, tindik di segala tempat. Kaus oblong kedodoran, dengan rantai kalung berbandul bulan bintang. Kaca mata hitam yang dikenakannya. 

"Astaqfirrullahhaladhim, dandan kepriwe kui!!" aku hanya menatap geli membayangkannya, kalau aku yang memakainya. Pasti Dara akan mentertawaiku seumur hidup.

"Gila lu, Bro!! Keren, cakep abis!" 

Sapa nona cantik yang ku perkirakan, adalah sahabatnya. Yang datang dari arah belakang, menepuk punggungnya.

"Ah, lu bisa aja!" 


Jawabnya, di lepasnya kaca mata hitamnya, di lipat dan di selipkan pada leher kaos oblong yang di kenakannya.

Kalau ku perhatikan cewek yang berdandan tomboy itu cantik, bahkan lebih cantik dari nona temannya. Bibirnya tipis, alisnya tebal, dengan hidungnya yang mancung.

"Kita jalan kemana?"

"Biasa ke Laguna, Dara sudah nunggu kita?"

"Dara yang cewek jawa itu?"

"Iya!"

"Gak salah lu, milih Dara?"

Dia tersenyum meyakinkan.

"Uda, kita jalan yuk, kasian teman-teman uda nunggu lama."

Aku yang memang duduk tak jauh dari mereka, mendengar dengan jelas meski di tengah ke bisingan. Aku bisa memastikan pendengaranku masih normal.
―Apakah Dara sahabatku yang di maksudnya?― pikiranku bertanya-tanya. Ah mungkin saja bukan, lagian tidak mungkin Dara berteman dengan Si tomboy itu, kalau pun iya tentu itu juga bukan urusanku―. Ku tinggalkan pikiran-pikiran negatipku.



Lalu bangkit, dari tempatku duduk. 

Aku memang benar-benar ingin berjalan menyusuri lapangan hijau Victoria, tempat yang selama ini menjadi tempat berteriakku, menghembuskan kepenatanku. Membuang lelahku.

Kususuri jalan taman, mulai dari; air terjun lingkaran, deretan pedagang pakaian, deretan tukang potret, sampai sudut-sudut kawan yang berbaris duduk meminggiri jalan taman, kantin taman, bukit kecil, sampai jembatan dermaga. Boleh di bilang nglenger ake sikil, sampai kakiku ngilu-linu-capek. 

Aku pun berhenti dan duduk sejenak melepas dahaga dengan sebotol teh dingin dan sebungkus getuk lindri, yang ku beli dari mbak jamu. Kebetulan, kami bertemu lagi di tepi kolam ini.
Sedikit aku bertanya dan ia pun bercerita.

"Mbak uda lama ya di Hongkong?" 

Tanyaku basa-basi.

"Hampir enam tahun." ia tersenyum.

"Kalau jualan disini?"

Tanyaku lagi. Ku teguk jamu segar khas Indonesia punya.

"Belum lama, baru satu tahunnan!" 

Suaranya sedikit berbisik, aku pun paham. 

"Biasa lah, Dik. Namanya juga buat anak, kasihan kalau gak disekolahin. Belum lagi sekarang apa-apa di Negara kita itu duit... Duittt dan duitt. Mulai dari kebutuhan pokok, BBM, dan masih banyak lagi, semua butuh ngeluarin duit. Belum lagi, yang katanya sekolah kita di gratisin, eee... masih juga suruh beli ini, beli itu."

"Wah, ternyata selain pintar mengelabuhi Pak Dhe, mbak ini pengetahuannya luas. Hebat!" pujiku.

"Ah, tidak juga."

Aku tersenyum melihat ke dua pipinya tampak merah, berbaur dengan kulitnya yang hitam.

"Ya, kita itu harus banyak-banyak belajar, cari informasi, lihat berita, pokoknya menambah pengetahuan deh!"

Aku sedikit terbelalak.

"O..iya, mbak! Terima kasih!"

Lalu, tiba-tiba ia mengambil posisi duduk di sebelahku. Seperti tertarik untuk mengobrol denganku.

"Tau gak, Dik?"


"Enggak, Mbak!"

"Lha wong aku belum ngomong, ya mesti gak tau!"

"Hehe...!"

Aku nyengir.

"Lapindo itu, masih saja jadi momok yang mengerikan, peristiwa itu sudah 6 tahun, tapi sampai sekarang gak ada pertanggung jawabannya, dimana-mana bentrok, dimana-mana gaduh. Dimana-mana kejahatan, itu karena apa? Coba?"

"Tidak tau, Mbak!"

"Nah, itu dia masalahnya. Kamu bukan gak tau, Dik. Tapi, kamu itu gak mau tau. Coba, kamu pikir. Kenapa negara kita tidak maju?"

"Tidak tau, Mbak!" 

Aku yang memang tak suka baca hanya nyengir, kuda.

"Karena banyak koruptornya. Tidak hanya itu saja, tapi, juga kita sendiri itu lebih kurang perhatian. Ya itu tadi contohnya kamu, yang gak tau dan gak mau tau."


Aku setengah geram, kalau saja ia tidak lebih tua dariku, mungkin sudah ku hajar. 
Aku pun sinis menjawabnya kuhentikan gigitan pada getuk lindri.

"Gitu ya mbak?"

"Ya, iyalah!"

"Terus, apa yang sudah Mbak, beri untuk negara, Mbak?"

Ia tertawa, setengah berbisik. 

"Belum ada! Sementara ini aku cuma jual jamu. "

"O!!"

"Eiittt.. Jangan salah, Dik! Nanti, kalau jamu ini laris untuk 10 tahun kedepan, berarti tabunganku makin banyak, aku bisa buat pabrik jamu tradional sendiri, dan yang pasti aku sudah bisa membuka lapangan pekerjaan. Bukankah itu hebat?!"

Ekspresinya seperti paranormal mimpi. Matanya seperti berbinar membayangkan ia menjadi Juragan jamu. Nampak ia tersenyum-senyum, telunjuk jarinya membentuk hurup V menopang dagu.

Aku sedikit terbelalak, emosiku melunak dengan mimpinya. Sebuah tantangan yang luar biasa dari seorang penjual jamu.

"Gak nyangka, cita-cita Mbak ini bergelora, penuh semangat."


"Gak nyangka, cita-cita Mbak ini bergelora, penuh semangat."

Ia pun tersenyum, lalu berdiri, pamit melanjutkan lagi berdagang. Ia pun berpesan.

"Asal jangan pernah menyerah, Dik! Pasti bisa"

"InsyaAllah ya, Mbak! Semoga daganganya Mbak laris habis."

"Terimakasih.!" 

Ia tersenyum, lalu menjauh dariku. Berjalan, memunggungiku. Aku sendiri, berusaha meresapi setiap ucapan dan kata-kata mbak jamu. 
Sedikit rasa malu tiba-tiba menyerangku. Kalau mbak jamu saja memiliki impian sebesar itu, kenapa aku yang masih membujang ini, yang masih jauh lebih banyak memiliki peluang panjang menata masa depan, harus berfoya-foya. Menghamburkan uang hasil kerja kerasku, terlebih hanya untuk memenuhi nafsu sesaatku. 
Ah. Entahlah, setidaknya aku harus belajar dari mbak jamu.

Tak terasa hari mulai senja. Sedikit ada rasa berbeda dari liburku hari ini. Sebuah semangat dan tekad baru untuk menyusun mozaik yang indah.

Aku pun berdiri dari tempatku, beranjak meninggalkan taman Viktoria. Ku lalui lagi jalan-jalan menuju setasiun kereta.

"Dheg" 

Tiba-tiba jantungku seakan terhenti berdetak, sebuah pemandangan yang terjadi tepat di depan mataku. Kakiku pun seolah lemas tak berani melangkah lagi. Orang-orang berdesakan, ingin memastikan korban tabrak lari. 



"Bukankah itu, mbak jamu yang tadi siang berbicara denganku?" 

Gumamku lirih melihat tubuhnya di usung ke dalam ambulan.

Aku masih tak mempercayainya, hingga suara ambulan itu lenyap. 
Kurasakan sepasang tangan halus menggenggam tanganku.

"Ada apa sayang? Kok melamun?" 

Aku terkejut. Suara pacarku membuyarkan lamunanku.

"Sudah ketemu model undangan yang tepat?"

Aku hanya menggeleng lalu tersenyum, kembali memilih model undangan pernikahan kami nanti. Samar-samar terdengar lirik campur sari, Dedi Kempot, yang seakan mengiringi perasaanku, pikiranku dan mengingatkanku.

...Lelagu nisto saben dinane 
 

Meres kringet mekso rogo 


Mugo mugo gusti kerso paring idi
 

Ilang panelongso tembe mburine 
 

Urip tentrem ayem adohing panandang 
 

Tibo bungahe ati iki ...

***

5 Juni 2012
D'Ris Prisma