Tuesday 3 January 2012

Cerita untuk Menulis Cerita

Apa dan bagaimana fiksi itu? Sekilas kita mendengarnya maka yang terlintas adalah khayalan. Ya, benar. Imajinasi. Namun apakah hanya itu? Setiap tulisan kreatif, entah berbentuk puisi, prosa, cerita, novel, roman, pasti memiliki unsur. Dan unsur itulah, yang dalam cerita, kita sering sebut sebagai : tokoh, latar, alur, konflik, klimaks. 

Sebelum lebih jauh, mari kita bahas pangkal dari fiksi itu sendiri. Imajinasi. Dalam teori sastra, ada yang dinamakan dengan realitas imajinatif. Ia adalah sebuah imajinasi, yang disintesa dari realitas. Lebih mudahnya kita bandingakan dengan realitas fakta, yang sering membuat sibuk para wartawan. Dalam dunia pers, realitas fakta menjadi landasan setiap pencari berita untuk menulis beritanya. Mereka menulis berdasarkan fakta yang dilihat oleh panca indera. Sementara penulis kreatif (istilah untuk para penulis yang menulis tulisan diluar tulisan normal, seperti jurnalistik, akademik, professional, teknis.), melandaskan tulisannya pada realitas imajinatif. Memang berdasar realitas, namun diolah oleh imajinasi, diresapi perasaan, diaduk dengan emosi, dan disampaikan dengan gaya bahasa yang bukan biasa – biasa dalam arti kekakuan dan formalitasnya.

Di sinilah unsur-unsur tadi menemukan perannya. Bahwa untuk menulis cerita, dengan imajinasi yang telah kita penuhi dalam otak kita, kita membutuhkan alat, prosedur. Karena pada dasarnya menulis adalah menangkap sebanyak mungkin realita yang ada dengan panca indera, kemudian mengeluarkannya dalam bentuk tulisan. Nah, untuk membentuknya menjadi sebuah tulisan itulah, maka muncul teori unsur dalam cerita tersebut. Tokoh, latar, alur dan konflik. Tokoh harus ada dalam sebuah cerita karena ia yang memunculkan konflik. Tokoh dan konflik harus memiliki latar, dimana dan kapan ia terjadi. Dan tokoh beserta latar akan menggerakkan alur. Maka utuhlah dia sebagai sebuah cerita.

Sebagai contoh mari kita resapi tulisan berikut: 

Mereka turun di terminal bus. Ibu menggandeng tangan Ali menuju pintu keluar terminal. Remang senja menyapa jalanan dengan debu kemarau. Hari itu terlihat lengang. Mobil angkutan umum melaju malas beberapa kali dan penjual di emper toko mengantuk melihat dagangannya yang tersapu angin sore. Namun mata Ali berbinar menyaksikan semuanya. Ia menyaksikan kebebasan. Kemerdekaan. (Remah Hati Ali)

Sudah bisa melihat tokoh? Latar? Mungkin juga sudah bisa melihat sedikit alur, namun belum begitu terasa karena belum ada konflik. Kita bisa mengembangkannya.

Lalu, apakah dengan mengetahui ini lantas kita bisa membuat cerita? Saya yakin tidak. Karena membuat cerita atau menulis kreatif adalah sebenarnya proses yang dijalani, bukan dipikirkan. Imajinasi jika hanya dalam kepala maka selamanya akan menjadi imajinasi. Proses menulis fiksi sebenarnya adalah memperjuangkan imajinasi itu sendiri (sebelum perjuangan kemudian untuk membuatnya dibaca dan laku di penerbit). Lalu apa yang pertama kali harus dilakukan untuk membuat cerita? Ini yang seharusnya kita cermati lebih dalam. 

Menemukan Ide

Hal yang pertama kali kita lakukan sebelum semua tulisan terlahir adalah menemukan ide. Ide untuk apa kita membuat cerita. Dari mana didapatkan ide? Sangat mudah. Untuk menemukan ide kita tidak perlu membayar. Ia ada di dalam kepala kita, berseliweran setiap saat. Hanya kita yang jarang menemukannya, mengambilnya dan mengolahnya menjadi sebuah tulisan. Anda yang merasa tidak punya ide dan kebingungan, sebenarnya sudah mendapatkan ide cerita, tentang seorang mahasiswa tidak punya ide dan merasa bingung. (Bingung bukan?) Atau, pastilah anda mempunyai memori tentang proses keberangkatan anda dari rumah menuju tempat ini. Maka coba telisik. Adakah yang mengganggu pikiran anda, mungkin sesuatu yang menarik atau aneh? Maka cermati, rasakan, dan renungkan. Itulah proses paling dini dari menulis, meraba alam lewat perasaan.
Untuk itu, maka penulis yang baik haruslah mengasah kepekaannya. Bagaimana mengasah kepekaan? Ada cerita tersendiri mengenai hal ini. 

Mengembangkan Ide

Hal yang kedua yang harus kita lakukan untuk membuat cerita fiksi adalah mengembangkan ide. Ya, semudah itu. Kembangkan ide kita, dengan imajinasi, luapkan semua pengetahuan yang kita miliki, gunakan intelektualitas, data, deskripsi, lalu tuangkan dalam tulisan. Selesai. Anda menjadi penulis.

Apakah benar demikian? Secara garis besar memang begitu, namun dalam prakteknya kita harus memperhatikan beberapa hal. Diantaranya kita harus memperhatikan setiap detil ide kita, membuat coret-coretan tentang itu, yang lalu dengannya kita dapat merangkum semua ide itu menjadi sebuah kerangka yang utuh. Nah, inilah yang disebut dengan outline, atau kerangka karangan.

Seperti juga cara penulisan baku pada umumnya, menulis kreatif, meskipun sekreatif apapun, tetap pada dasarnya membutuhkan sebuah kerangka, apalagi jika tulisan yang harus dibuat itu adalah beratus-ratus halaman, seperti novel. Kita harus membuat kerangka. Kerangka tidak perlu terlalu kaku, yang terpenting adalah ia memuat semua lintasan ide kita, dan terstruktur menjadi sebuah alur berpikir yang jelas. Dalam konteks membuat cerita, ia adalah menemukan tokoh, konflik, latar, dan alur secara singkat dan padat, lalu benar-benar menuliskannya secara cepat. Karena perlu kita ketahui, ide itu adalah lintasan pikiran yang cepat dan seribu satu kali akan menjadi seperti itu pula.

Nah, dari sudut pandang ini, pada dasarnya kita menemukan bahwa membuat outline pada tulisan kreatif, mirip sekali dengan membuat peta pikiran. Ada satu tips yang paling jitu dalam tahap ini, yaitu mencatat setiap kejadian yang menarik. Sediakan buku saku dan pena kapanpun dimanapun, dan tulisakanlah setiap ide yang kita temukan, lalu kembangkan ia. Maka inilah bekal paling utama.

Menulis.

Apalagi jika bukan menulis? Ya, proses yang paling dinanti dalam membuat cerita fiksi adalah menulis itu sendiri. Untuk menulis kita tidak perlu berpikir ulang, karena pada dasarnya kita semua sudah bisa menulis dari SD. Yang diperlukan disini adalah tekun, terus-terusan, tidak bosan, berjuang dengan gigih, atau kata apapun yang merangkum keberlanjutan. Karena pada kenyataaannya, banyak penulis atau calon penulis yang gagal menempuh jalur impiannya ketika keengganan mulai merasuki dan membuatnya berhenti menulis.

Nah, untuk itu, tidak perlu dijelaskan bagaimana agar bisa terus-terusan menulis. Teorinya sangat mudah. Temukan alasan yang paling tepat mengapa kita harus menulis. Lalu galilah itu terus menerus. Apalagi? Tentang waktunya? Menulis bisa kapan saja. Yang terpenting adalah menulis harus disiplin. Sekreatif dan nyeni apapun sastrawan dan penulis, ia tetap harus disiplin dengan tulisannya.

Biasakan memeberi waktu khusus untuk kegiatan menulis. Pada waktu yang kita relakan, bukan kita sisipkan di sela-sela waktu luang. insyaAllah bagi mereka yang gigih dan tekun menjadi penulis besar adalah satu langkah untuk benar-benar mengukir sejarah. (29/05/10)

Sebuah kutipan yang berguna:
Cerita – dan  tulisan kreatif lainnya, karena berbasis imajinasi maka ia diresapi peristiwa sejarah, kenangan dan asosiasi. Memuat juga warisan sosio-kultur masyarakat, penuh homonim, kategori-kategari semau-maunya dan irrasional. Sangat konotatif. Ia tidak hanya menerangkan saja, tetapi mempunyai segi ekspresif, menyampaikan nada dan sikap sastrawan, cenderung bernada personal.

Ia tidak hanya menerangkan dan mengatakan apa yang dikatakan, tetapi juga bermaksud membujuk, mempengaruhi sikap pembaca, menggerakkan (to move) perasaan pembaca, dan pada akhirnya berusaha mengubah pendirian. Segala teknik dalam tulisan kreatif diusahakan untuk memperoleh perhatian dan menarik, seperti tampak pada aliterasi, asosiasi, rima, ritma dan sebagainya.

Selamat menulis...

by : Ashif Aminulloh

0 comments:

Post a Comment