Tuesday 3 January 2012

“Muslimah Indonesia, Ini Jilbabku! Mana Jilbabmu?”

Maryem, begitu orang-orang biasa memanggilku. Namun di rumah dan di kalangan keluarga, Lih Ching Mah menjadi panggilan sehari-hariku. Ya… di Taiwan memang unik, setiap anak lahir dengan nama Cina dan ketika mereka memasuki jenjang sekolah serta berkenalan dengan bahasa Inggris, mereka akan memiliki nama Inggris. Dan muslim Taiwan lebih unik lagi, selain memiliki nama lahir dan nama Inggris, mereka juga memiliki nama Arab. Mungkin lebih tepatnya di sebut sebagai nama Islami, namun kami sudah terbiasa menyebutnya dengan alabo ming zi (nama Arab). Beberapa minggu setelah proses kelahiran, para orang tua membawa anak-anaknya kepada Imam, dan meminta beliau memberikan nama Islami untuk anak mereka. Maka jangan heran, jika nanti kalian berkenalan dengan muslim Taiwan, nama Islaminya hanya berputar-putar dari Maryem, Fatimah, Salimah, Ali, Abu, Yusuf, Yunus dan Omar. Harap dimaklumi ^_^.

Oh iya, seperti yang sudah ku jelaskan di atas, aku berasal dari Taiwan. Lebih tepatnya, lahir di Thailand dan besar di Taiwan. Nenek moyang ku asli dari Cina Daratan. Aku sudah muslim sejak lahir, alhamdulillah. Pun kedua orang tua ku, mereka muslim yang taat dan selalu menjadi panutanku. Walau kami berada di negara yang minoritas penganut Islamnya, namun orang tua ku selalu berhasil menguatkanku untuk menjadi seorang muslimah yang kaffah. Ya… jumlah muslim sangat sedikit sekali di sini. Jika kalian mencoba bertanya ke om google mungkin beliau akan membocorkan jumlah muslim yang ada di Taiwan sekitar 50,000 orang. Pahamilah… tidak selamanya om google tahu segalanya, dalam realita yang ada paling hanya 2000 – 3000 muslim yang tersisa di Taiwan di antara 20 juta total populasi. Oops… atau aku salah? Yang benar justru ada sekitar 175,000 muslim di Taiwan. Ya… itu angka yang benar, jika digabungkan dengan jumlah pekerja dan pelajar Indonesia yang ada di Taiwan serta ditambahkan dengan muslim Internasional lainnya yang turut mewarnai kehidupan di Taiwan.

Nah… sudah bisa dibayangkan bagaimana kehidupanku sebagai seorang muslimah? Seorang muslimah berjilbab? Orang Taiwan memang terkenal sebagai orang yang ramah, dan sangat menghargai perbedaan. Di sini tidak akan ditemui aksi-aksi islamfobia seperti yang marak diberitakan media di sejumlah negara di Eropa dan Amerika sana. Tapi… toleransi yang besar itu hanya berlaku bagi orang asing yang bernaung di Taiwan.


Aku memutuskan berjilbab saat berusia 19 tahun, saat memasuki tahun pertama kuliahku. Tidak ada alasan khusus mengapa aku berjilbab, karena sudah jelas… berjilbab adalah kewajiban bagi semua muslimah. Lalu mengapa harus mencari-cari alasan? Aturannya sudah jelas… perintahnya pun nyata tertulis di Al Qur’an.

Ragu dalam memutuskan? Awalnya iya… karena dengan berjilbab tidaklah mudah bagi ku dan lingkunganku. Sejuta bisikan syaitan menghiasai hari-hari ku, beraneka pikiran buruk menghampiri. Bagaimana reaksi teman-temanku? Apakah mereka bisa menerima ku begini? Bagaimana dengan guruku? Apakah mereka oke-oke saja dengan kehadiranku dengan busana seperti ini di kelasnya? Bagaimana dengan orang-orang yang ku temui di jalan? Apakah mereka risih dengan kehadiranku? Apakah mereka bisa menerimaku apa adanya? Semakin ku pikirkan… semakin banyak pertanyaan bergelantungan di benak ku. Semakin besar rasa ragu menyelimuti. Sampai-sampai aku lupa memperhitungkan, bagaimana dengan penilaian Allah? Senangkah dia dengan apa yang kulakukan? Ridha kah dia dengan ketakutan duniawi ku?


Kematanganku dalam berfikir menghadapi tantangan terbesarnya, saat harus memutuskan, mana yang lebih penting? Kesenangan duniawi yang sebentar saja atau kehidupan akhir nanti yang kekal dan abadi? Mana yang lebih utama? Membahagiakan teman-teman dan orang-orang disekitarku yang tidak ku ketahui itu siapa atau Allah yang sudah pasti mencintaiku? Akhirnya, 21 Agustus 2004 menjadi hari bersejarah dalam hidupku. Ku mantabkan azzam ku, menjadi seorang muslimah seutuhnya. Ya… semenjak hari itu, aku berjilbab!


Tantangan Sebenarnya

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS al-‘Ankabuut [29]: 2-3)


Ketakutan-ketakutan ku selama ini ternyata tidak beralasan. Buktinya, teman-temanku fine saja ketika mengetahui aku berjilbab. Untungnya aku memutuskan berjilbab saat pertama masuk kuliah, jadi kebanyakan teman ku adalah teman-teman baru. Mereka tidak merasa bermasalah dengan penampilan ku. Teman-teman lama pun pada awalnya kaget, namun setelah ku jelaskan, mereka bisa menerimanya. Dosen-dosen di kampus juga tidak mempermasalahkan, dan banyak di antara mereka yang mengira aku mahasiswa internasional. Ku terima saja “tuduhan” itu, yang penting aku bisa nyaman berada di kelas.


Yang agak sulit tentunya ketika berada di pusat keramaian, semua mata akan tertuju kepada ku. Ada yang memandang dengan antusias, ada yang melihat sekilas lalu berbisik-bisik dengan temannya. Aku sangat risih sekali, karena aku memang tidak suka menjadi pusat perhatian. Bahkan terkadang, ada yang memperhatikan dari atas hingga ke bawah, berkali-kali. Jika sudah begini, rasanya aku ingin menghilang saja dari pandangan semua orang. Terlebih di musim panas, saat semua orang tampil dengan busana terseksinya, aku justru berkeliaran di tengah kota dengan busana tertutup.


“Nggak panas?” itu pertanyaan terlaris yang kudapatkan setiap summer.


“Enggak… justru pakaian ini melindungi tubuh dari sinar matahari,” dan itu selalu menjadi jawaban andalanku.

Maka… tidak salahkan kalau musim dingin menjadi musim yang paling ku sukai? Karena di musim ini, tidak ada yang menganggap pakaian ku aneh. Tidak ada yang menatapku dengan beribu tanda tanya. Pun jilbab bukan jadi kendala, karena mereka menganggap itu style ku dalam melawan hawa dingin. Aku pun jadi senang ke toko, beraneka busana panjang yang bagus-bagus berjejer di setiap toko. Pashmina dan syal yang selalu kujadikan hijab dengan beragam corak dan motif melambai-lambai di mana-mana. Musim dingin yang beku, justru jadi penuh warna di kalbu.

Menyikapi semua ini, pelajaran utama yang kupetik adalah, tantangan dan kendala utama dalam berjilbab bukanlah orang-orang dan lingkungan sekitar kita, namun… diri kita sendiri!

Layaknya keimanan, kemantaban memakai jilbab pun sering kali di uji, apalagi di lingkungan yang tidak ada seorang pun yang bisa menguatkan. Ketakutan ku muncul ketika aku baru saja tamat kuliah. Setelah 5 tahun di bangku kuliah, mau tidak mau aku harus melangkah ke fase hidup berikutnya, bekerja dan menikah. Aku pasrah saja, mana yang akan Allah takdirkan untukku terlebih dahulu, yang pasti aku tetap berusaha melakukan yang terbaik.


Ratusan lamaran kerja ku masukkan ke berbagai perusahaan yang sesuai dengan kualifikasiku. Hasilnya? Tidak ada satu pun yang memanggilku. Teman-teman sekampus yang prestasinya biasa-biasa saja, sama dengan ku, banyak yang sudah dipanggil kerja.

“Ya.. kamu kalau penampilannya begini siapa yang mau menerima? Bagi orang Taiwan, dalam dunia kerja, tampil dengan busana yang tidak oke dan tanpa make-up itu namanya tidak sopan,” seorang senior memberikan masukannya.

“Tapi kan yang penting produktivitasnya?”

“Iya.. itu kalau kamu brilliant banget. Kalau keahlian dan kepandaianmu satu di antara seribu. Kalau di dunia ini cuma kamu satu-satunya manusia yang bisa mengerjakan pekerjaan tersebut. Kamu ke kantor nggak pakai baju pun nggak masalah… nggak ada yang larang,” lanjut sang senior. Hm… aku mengerti dengan maksud yang disampaikan oleh senior ku itu. Aku paham, Taiwan sebagai negara yang maju duniafashion-nya memang sangat menomorsatukan penampilan fisik. Tapi apakah dengan tampil berjilbab begini aku otomatis menjadi jelek? Apa yang salah dengan jilbab? Apakah dengan berjilbab maka kinerja ku akan menurun? Apa dengan berjilbab maka keuntungan perusahaan akan merosot tajam? Hah… aku tidak mengerti dengan logika mereka yang katanya modern tersebut.

Tidak berputus asa, ku temui muslimah Taiwan lain yang juga berjilbab, yang jumlahnya bisa di hitung dengan jari. Ya… kebanyakan yang berjilbab permanen di Taiwan hanya ibu-ibu saja, tapi untuk anak mudanya, bisa dibilang sedikit… sedikit sekali. Sulit mencari pekerjaan merupakan salah satu alasannya. Dari semua muslimah muda yang kutemui tersebut, ternyata tidak ada seorang pun yang bekerja pada perusahaan lain. Mereka semua sudah disulap menjadi muslimah mandiri yang berdigjaya dengan bisnis level nasional maupun internasional. Aku kagum dengan mereka, namun masih belum merasa percaya diri untuk bisa menjadi seperti mereka. Aku merasa diriku masih terlalu muda untuk terjun ke dunia bisnis, dan aku juga tidak punya pengalaman apa-apa. Ada di antara mereka yang menawarkan bantuan modal, namun aku takut tidak bisa amanah. Yang ku inginkan, aku bekerja dulu sambil membangun jaringan, mengumpulkan modal sendiri dan baru kemudian membangun usaha sendiri. Bimbang dan ragu semakin menghantui hari-hari ku. Rasa takut pun turut hadir dengan beragam pikiran negatifnya.

“Apa aku buka jilbab saja?” sempat pikiran itu mampir, apalagi setiap kali melihat orang tua ku yang sudah tua, namun harus tetap bekerja untuk menghidupi anak-anaknya. Aku memiliki tiga orang saudara, satu kakak laki-laki yang sudah menikah, satu kakak perempuan dan satu adik perempuan. Kakak perempuan ku sudah bekerja, dan setiap bulan membantu pengeluaran rumah, namun belum cukup untuk membuat ayah dan ibu pensiun dari pekerjaannya. Karena masih ada aku dan adikku yang harus mereka biayai. Walau mereka tidak merasa keberatan, namun aku tak ingin selamanya menjadi beban mereka.

“Apa kamu yakin dengan membuka jilbab kamu bisa dengan cepat mendapat pekerjaan?” Tanya seorang temanku asal Indonesia, yang sering ku temui di Mesjid belakang rumahku.

“Setidaknya itu akan lebih mudah.”

“Kenapa kamu tiba-tiba jadi kehilangan kepercayaan sama Allah? Hidup, mati, jodoh dan rezeki itu sudah di atur sama-Nya. Mau kamu pakai cara halal atau haram, cara yang di sukai atau tidak disukai oleh-Nya, kalau memang sudah ‘jatah’ mu, ya nggak bakalan kemana-mana.” Pernyataannya singkat, namun berhasil menamparku. Ya… mengapa kini aku justru ragu dengan-Nya? Padahal dulu dengan lantang aku berkata, bahwa semua yang kulakukan hanyalah agar Dia senang kepada-ku. Lalu mengapa aku tidak memasrahkan saja pada-Nya? Semuanya… agar diberikan yang terbaik?

Berbulan-bulan aku menunggu… berbulan-bulan aku berusaha tanpa mengenal putus asa. Berbait-bait doa selalu kulantunkan agar dimudahkan jalanku dan dijaga keimanan serta kemantaban hatiku dalam berislam. Semua pintu yang terbuka ku masuki, bahkan aku pun rela ditempatkan untuk mengajar di daerah pedalaman. Apapun itu… selama itu halal dan Allah ridha akannya.

“Ada lowongan pekerjaan di CMA (Chinese Muslim Association),” pamanku yang berdomisili di Taipei menyampaikan kabar tersebut via sms. Saat itu aku berada di Nantou, sebuah daerah pegunungan di tengah Taiwan. Di sana aku mengabdikan diri sebagai guru bahasa Inggris di sebuah tempat les. Tanpa pikir panjang, ku telpon paman ku dan menanyakan apa saja persyaratannya. Keesokan harinya, langsung ku kirimkan semua berkas data yang diperlukan. Sejak itu, jantung ku selalu berdebar kencang, menunggu telpon panggilan kerja dari mereka.

Yeay… kesempatan itu datang! Aku di panggil untuk mengikuti wawancara kerja. Sedikit canggung dan penuh dengan harap, ku tinggalkan Nantou dan berlalu ke Taipei. Ku jawab semua pertanyaan dengan penuh percaya diri, setiap jeda yang ada ku lafazkan nama-Nya, agar memberikan yang terbaik untukku. Dan ya… beberapa hari kemudian keputusan itu datang! Aku diterima bekerja di CMA! Di tempat yang tentu saja aku bisa tampil dengan pakaian syar’i, dan lebih dari pada itu… aku bisa bekerja sambil berdakwah. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang harus ku dustakan?


***

Saudariku… yakinlah…. Rahmat Allah itu Maha Besar. Rizki dari-Nya terserak disetiap jengkal tanah yang diciptakan-Nya. Burung yang keluar dari sangkarnya, setiap pulang selalu dalam keadaan kenyang… apalagi kita yang dibekali kemampuan berfikir dan berkarya? Jangan berburuk sangka terhadap Allah… bahwa dengan aturan yang diciptakan-Nya justru akan membuat hidup kita menjadi susah. Tidak… sama sekali tidak!

Apalagi jika sudah berada di lingkungan yang memahami bahwa berjilbab adalah kewajiban bagi setiap muslimah, hal apalagi yang membuat mu masih ragu saudari ku? Kejarlah kesempatan itu, selagi kita masih diberi waktu. Jangan sampai nanti yang tersisa hanyalah penyesalan… sebuah penyesalan dihari perhitungan… naudzubillahimindzalik.


*sebagaimana yang diceritakan oleh Maryem kepada Yuherina Gusman


komen:


    • Siti Allie Gimana ya caranya mengomentari senior? memanggil Okti Li Ashif Aminulloh dan Hafnidar Hasbi aja ah....
      12 November 2011 at 19:37 · 

    • YuheRina 于麗娜 Gusman yaah.. ksh komentar aj mbak.. ex: tulisannya tidak di mengerti, terlalu panjang, terlalu berbelit-belit... atau tidak spesial :) mesti ad yg dirasakan ketika membaca tulisan saya. hehehe *maksa*
      12 November 2011 at 19:44 · 
    • Siti Allie Kisah yang ringan tapi cerdas, pesan yang mudah tertangkap menjadikan tulisan ini enak dibaca :) nyam...nyam....
      12 November 2011 at 19:52 · 
    • Hafnidar Hasbi Subhanallah, suka sekali.....kisah nyata ya mbak YuheRina 于麗娜 Gusman?. Mb Siti Allie, sy cm senior usia sj mb, kl dlm menulis cerpen skr ini pengalaman ke 2 setelah dulu sekali sktr thn 97an wkt duduk di bangku S1, hiks :), tp kl disuruh komen2, plg bisa lah...hehehe
      13 November 2011 at 07:13 · 

    • YuheRina 于麗娜 Gusman iya kak.. memang harus kisah nyata ^^
      13 November 2011 at 17:55 · 
    • Hafnidar Hasbi Mb YuheRina 于麗娜 Gusman, ijin menambahkan komentar ya....setelah membaca yang kedua kali, hati saya berkata ini cerpen yg sarat nilai, sehingga hampir2 seperti artikel non fiksi. Tp saya tdk menemukan keindahan dlm cara penuturan dan alur, beda dgn cerpen Mb Yuher yg lain, spt cerpen cantik, ajak aku ke baitullah, dll....
      13 November 2011 at 22:19 ·  ·  1

    • YuheRina 于麗娜 Gusman hm.. boleh tau detailnya seperti apa kak? ini memang on fiksi kak :)
      13 November 2011 at 22:20 · 
    • cerpen yg lugas. mb Yuher bercerita dengan tegas dan informatif. alur yg tidak berbelit-belit dan tema yang sejak awal sudah dipaparkan membuat cerpen ini mudah dibaca siapapun. (ini bener2 terjadi ya mb? atau ini memang reportase :) )


      menurut saya yg perlu dikembangkan adalah pemilihan diksi dan eksplorasi konflik. dalam menulis karya sastra kita bebas berkreasi dg bentuk kalimat dan pemilihan kata, yang dengannya cerita kita bisa menyentuh. (penulis yg sukses adalah penulis yg membuat pembaca terus membaca sampai akhir. ini definisi pragmatisnya) dan u membuat pembaca terus menerus baca, selain diksi, cerita kita juga harus punya konflik.


      konflik berarti harapan tokoh yg terbentur oleh kenyataan. ini yg membuat cerita punya bobot. semakin dalam konflik,semakin seru cerita. d cerita ini sebenarnya mb yuher sdh punya konflik yg seru, yaitu tokoh yg pakai jilbab namun terbentur kenyataan yg menekannya untuk melepas saja jilbab itu. namun mb yuher tidak mengeksplorasinya dari awal. di awal, mb yuher sengaja membuka dg perkenalan tokoh. sebenarnya pengenalan tokoh dalam sebuah karya sastra bisa dilakukan dg 3 hal: 1.penggambaran perilaku tokoh, 2.dialog tokoh dg tokoh yg lain. 3. komentar tokoh lain ttg tokoh tsb. jadi sangat mungkin
      pembaca tetap mengetahui tokoh tanpa tokoh tsb memperkenalkan diri secara langsung. justru yg membuat pembaca terjebak ingin terus membaca adalah konflik.

      nah, di cerita ini menurut saya akan sgt bagus jika diawali dg kegelisahan maryem ttg jilbabnya. bagaimana jika ia melepas saja jilbab itu? bagaimana jika nanti dia tidak dapat pekerjaan juga jika melepas jilbab itu? bagaimana reaksi teman-temannya nanti jika ia melepas jilbab? ini yg bisa dieksplor lebih jauh dan dipaparkan sejak awal. sehingga interest pembaca langsung pada konflik dan bertanya-tanya hingga akhir cerita. mb yuher akan sukses mengobrak-abrik perasaan pembaca, tanpa harus menceritakan detil berlebih yg bisa disampaikan sambil cerita berjalan.

      u inilah setiap penulis harus punya empati, seakan-akan dia adalah tokoh yg sedang mengadu pada pembaca. atau curhat. kalau senang ya ungkapkan dengan bahasa dramatis, kalau sedih jg begitu, kalau resah juga sama. karena itulah senjata ampuh karya sastra: ia berbicara yg benar tanpa harus menggurui. ia memberontak tapi seperti menyindir, ia menolak tapi dengan pertanyaan kontemplatif.

      anyway ini cerita yg sangat berkesan, semoga Maryem selalu diberi kemudahan menjalani hidup.:D
      13 November 2011 at 22:24 ·  ·  2

    • YuheRina 于麗娜 Gusman Makasih Om Ashif Aminulloh, super sekali :)
      13 November 2011 at 22:34 · 
    • Siti Allie Wah...Ilmu lagi nih, makasih banyak ya Mba Hafnidar Hasbi dan mas Ashif Aminulloh saya banyak sekali belajar dari bedah cerpen seperti ini, tinggal cerpen saya menyusul :) tapi ga sekarang..
      13 November 2011 at 23:57 ·  ·  1

0 comments:

Post a Comment