Wednesday 29 February 2012

Perbedaan Yang Indah


Siapa yang tak mengenal dunia maya? mungkin pertanyaan ini sering kita dengar dan bahkan kitapun di haruskan untuk menjawabnya. Beberapa orang tahu akan dunia internet, apalagi dengan adanya facebook, semua orangpun bisa memilikinya, apalagi untuk membuat emailnyapun sangat mudah. Jangankan kalangan orang berbisnis, artis, pejabat, orang tua, anak muda, anak SD pun juga banyak yang memilikinya. Berawal dari dunia facebook itulah aku mengenal banyak orang dan dengan karakter yang berbeda pula. Semua terasa mudah dan praktis, memiliki akun facebook sungguh membuat dunia semakin berbeda. Entah kenapa aku, sebuat saja namaku Harum, sangat menyukai dunia menulis, hingga apapun yang menjadikan kisahku selalu tercatat di diaryku, namun semenjak mengenal facebook kegiatan asyik itu jarang aku lakukan. Aku berpikir mungkin aku lebih asyik menulis cerita yang berbeda daripada menulis kisah keseharianku yang tak seharusnya aku tulis di kolom catatan. Wah, bisa-bisa kisah pribadi terbaca semua orang dong? hmm, kalau bisa jangan deh.

                   Beberapa orang yang sebelumnya tak kukenal, tak kusangka kini telah menjadi bagian dari hidupku, itupun juga tak mudah. Seperti halnya mendaftar anak sekolah, aku cukup menyeleksinya satu persatu, karena dari beberapa sahabat yang di dalam pertemananku kadang ada saja yang usil dan juga bicara yang sengaja menyinggung perasaan, atau juga terlalu mengusik aku. Memang aku akui itu kesalahanku sendiri, kenapa jua aku terlalu mudah menjalin persahabatan dengan orang yang benar-benar tak kukenal sebelumnya, jangankan untuk mengenal, ketemu saja belum pernah. "Waspada dan hati-hati itu memang harus, tapi bukan berarti mencurigai." bisik dalam hatiku ketika harus menghadapi macam sahabat di dunia internet.

                  Cukup bagiku untuk mengejar ilmu daripada hanya bercuap yang tak perlu, mataku kian berkelana menuju sosok-sosok yang aku anggap sekiranya bisa membuatku lebih belajar banyak ilmu darinya, itu kulihat dari caranya berbicara meski hanya lewat ketikan kalimat dan menanggapi berbagai status yang ia terima, atau mungkin pula beberapa catatan yang membuatku mengatakan bahwa sosoknyalah yang selama ini aku cari. Maka denganku berkeliaran di beranda sahabat-sahabatku itulah, aku menemukan sosok-sosok baru yang telah memenuhi target sebagai calon penerima persahabatanku di dunia maya. Aku bukannya terlalu memilih apa yang dinamakan sahabat, cuma aku hanya menginginkan sahabat yang sekiranya tidak hanya berguyon ria dan membahas yang sekiranya tak perlu, aku ingin mendapatkan yang sekiranya yang tak pernah aku jumpai, bisa berbagi dalam suka dan duka, memberikan nasehat dan bisa memberikan apa yang selama ini tak aku punya. Aku hanya tak ingin terlalu bebas dalam berbicara atau bergaul, meskipun itu hanya di dunia maya.

                  Penampilan yang khas, photo profilnya, caranya bercanda yang sewajarnya, berkomentar penuh dengan syarat dan ilmu yang bermanfaat, catatannya yang bergelimang nasehat, keasyikannya dalam beragumentasi, serta kedewasaan yang terlihat dari auranya, itulah beberapa yang bisa kulihat dari layar 15,6 inch yang menjadi sahabatku setiap malam senggangku. Boleh saja orang lain menilai lain dengan caraku, namun sedikit halnya hanya itu yang bisa aku lakukan, karena aku sendiri tak pernah melihat batang hidung mereka satu persatu kan? Aku kadang yakin, tapi kadang keyakinan itu bisa salah, dunia maya yang kukenal memang tak bisa menjamin kebenaran dan kepalsuan. Banyak juga orang yang terjerumus dalam hal yang tak seharusnya dilakukan, mungkin aku harus menghindari hal itu terjadi.

                 Aku masih dalam tahab belajar untuk selalu menuliskan apa yang sekedar aku tulis, kadang tentang masa lalu, kenangan, pengalaman, curhat atau hanya sekedar bercerita dan berbagi melalui cerita pendek. Pernah aku sengaja menulis cerpen tentang kisah pembacokan berdarah dan kisah hantu yang menegangkan, sempat membuat banyak sahabat maya ketakutan, merekapun memilih waktu yang tepat untuk membacanya, tentunya bukanlah dimana matahari telah terbenam dan menyembunyikan cahayanya. Siang bolongnya aku dapati pemberitahuan dimana mereka baru bisa berkomentar dengan kisah cerpen di dalamnya. Hmm, pengen tersenyum saja melihat pikiran mereka yang polos dan lugunya? asyik juga bersahabat dengan mereka yang sudah hafal banget kebiasaan kita di dunia maya.

                 "Boleh kenalan nggak nih?" sapaku di awal ketikan inboknya.

                 "Boleh saja." jawaban singkat darinya, ternyata dalam kesempatan tersebut dia juga masih online. Senangnya diriku bisa inbokan langsung, meski belum masuk ke kolom chat.

                 "Konfirmasi pertemananku ya? tadi sudah aku add lo?" pintaku ramah padanya.

                 "Oh, ia. Maaf saking sibuknya tadi. Sekarang aku konfirmasi ya?" ketiknya balik, yang menambah hatiku terasa senang saat itu juga. Tanpa lama lagi, akupun bisa membuka kolom chatku. Mungkinkah ini jodoh? aku melihat dia online memakai komputer juga, layaknya diriku yang selalu menikmati kesibukannya di beberapa komentar sahabat akrabnya. Terasa mudah dan lancar bagiku jika aku berhadapan dengan chat, apalagi secara langsung dan bisa ngobrol apapun sesukanya. Walaupun aku sempat menolak yang namanya YMan, karena aku sendiri tidak menyukai hal itu. Aku lebih suka berhadapan langsung dengan orangnya, daripada menatap wajah di layar kaca.

                 Bagiku, sembarang ngobrol juga tak begitu baik buat diriku sendiri, apalagi dia adalah sahabat baru yang belum aku kenal lebih dekat lagi. Percakapan demi percakapan itupun terjadi dan ternyata kesibukan tiap harinya adalah menggambar dan melukis. Darimana juga imajinasinya, aku sendiri tak berani untuk bertanya, yang kutahu, dari semua hasil yang ia unggah di facebooknya sangatlah bermacam-macam, bukan hanya sosok wanita dan pria, tapi semua pernah dia tuangkan dalam karya.
Dia, sosok lelaki muda yang baru saja menginjak umur 24 tahun, hobi dengan melukis dan menggambar, apapun dia gambar, dari alam, binatang dan yang menariknya lagi dia menyukai gambar yang berupa wajah dan tubuh manusia. Aku dibuat salut dengan kelincahan tangannya, itukah yang disebut dari kelebihannya? sayangnya, aku hanya bisa menikmatinya di layar kaca dan menamati secara dekat hasil karya halusnya itu, didepan komputerku semata.

                 "Nama aslinya siapa ya?" tanyaku dalam chatnya, saat itu malam sudah menunjuk angka 23:00pm, entah kenapa aku masih melihat lampu hijaunya masih nyala, itu pertanda dia masih berada disana, online.

                 "Nama asliku, Hendrick Purnomo" jawabnya.

                 "Nama yang bagus tuh, tapi kenapa pakai akun dengan nama Sawung Galing? apa hubungannya?" tanyaku menyelidik, ingin mengetahui apa yang akan dia utarakan.

                 "Ah, hanya nama akun saja. Sengaja memang aku memakai nama itu, karena nama asliku juga banyak yang ngembarin, takutnya nggak bisa ngebedain." jawabnya nyantai.

                 "Foto kamu juga tak ada di sana, memangnya kenapa, nggak berani pajang foto? apa terlalu cakep untuk dibuat rebutan?" tanyaku menggoda, penasaran dengan sosoknya yang selama ini menghadirkan banyak karya lewat foto dindingnya. Kuakui aku sangat mengaguminya.

                 "Hehehe, tahu saja, ia terlalu cakep untuk diperebutkan sehingga layar PC ku juga nggak sanggup untuk mengunggah foto nih? gimana caranya?" jawabnya sekenanya.
Aku tahu dan aku menjadi penasaran banget dengan sosoknya, bahkan dengan caranya chat yang hampir seminggu kulalui dengannya, kurasakan dia adalah sosok yang berkepribadian tenang, dewasa dan berpikir luas.

                 Aku yang selama ini mencoba meraih tangan-tangan persahabatan dengan mereka, baik yang masih bersekolah, kuliah di Formosa ataupun di Indonesia, memang banyak memberikan masukan dan nasehat banyak selamaku mengenal mereka, tapi jujur saja, aku tak bisa mengusai apa yang dinamakan dengan seni rupa, apalagi yang menyangkut gambar-menggambar, bahkan melukis. Namun semenjak mengenal Hendrick, terasa berbeda hari-hariku, apalagi keterkagumanku yang tak bisa kututupi lagi ini, membuatku mengambil hasil karyanya sebagai photo profileku. Sempat aku meminta ijin padanya, dengan ramah dia hanya bilang "Tak apa-apa, kalau mau ya silahkan di ambil" begitu jawabnya.

                 "Harum, lagi dimana sih?" chatnya seketika di pagi hari, tepatnya di hari minggu.

                 "Hai Hendrick, tumben sepagi ini ol, aku ada di Formosa." jawabku penuh dengan gembira. Jarang banget dia memulai chat denganku, kenapa tiba-tiba dia menyapaku? ah, mungkin saja dia ada perlu atau sesuatu yang ingin dia tanyakan padaku.

                 "Mana tuh, Formosa?" tanyanya lagi.

                 "Negara Taiwan, itu maksudku.'' jawabku singkat.

                 "Maaf, canda. Aku tahu kalau kamu berada di Taiwan, seingatku kamu pernah menulis mandarin pakai ketikan orang sini, kamu pinter ya?" lanjutnya.

                 "Ah, nggak juga. Aku belajar sejak dulu, bisanya hanya itu-itu saja, masih terus belajar lah, kok kamu bisa tahu? wah ternyata sering melototin statusku juga yah?" ledekku menyelidik.

                 "Jujur, ia. Aku sering melihat beberapa catatanmu, aku suka banget dengan caramu menulis cerpen, kalau saja aku bisa faham bahasa Indonesia yang benar, mungkin akan aku komentari, sayangnya aku tak sepandai sepertimu." terangnya.

                 "Kamu sendiri kerja di mana Hendrick? apakah juga berada di Taipei?" tanyaku kemudian.

                 "Tidak, aku bukan berada di Taipei, aku kerja di wilayah Hsin Cu, yah lumayan jauh kalau harus ke Taipei, tapi aku juga sering main kesana kok, walau hanya sekedar membeli kebutuhan mess dan juga keperluan yang lainnya." jawab Hendrick.

Beberapa detik aku masih menatap ketikan hendrick di kolom kecil sudut bawah PC ku, aku masih tak percaya dengan dia yang bilang sering memantau ke statusku. Terasa bagai mendapat durian deh, ah tapi aku juga tak ingin pujiannya meledakkan isi kepalaku.

                ''Jangan begitu ah, masih banyak kekurangan yang ada pada diriku, aku masih belajar, seperti halnya seorang anak yang sedang merangkak, belum benar-benar bisa berjalan, bahkan berlari, kalau lari sudah menggenggam dunia dong? itu kata seorang padaku, bagaimana ya rasanya menggenggam seisi dunia?" terangku nyantai, dibarengi ketawa dari seberang, karena dia hanya mengetik kata "hahaha..." dilayarku.

               Perbincangan kamipun selalu asyik dengan canda tawa dan bahkan, Hendrick melihat nomor ponsel yang tertera di info facebookku, dengan sedikit penasaran diapun memberanikan meneleponku. Kami menikmati perkenalan itu hingga aku sedikitpun tak menyangka kalau Hendrick menawarkan untuk membelajari diriku cara menggambar dan mengekspresikan seni ke dalam goresan, meski goresan itu hanya pensil hitam diatas kertas putih. Akupun menanggapinya dengan senyum, tak disangka tawaran itu bisa aku terima dengan mudah, tanpa biaya sedikitpun, apalagi dia juga berniat untuk menemui aku.

             Keraguan di hati tiba-tiba mencuat tinggi layaknya sebuah balon yang kehilangan gas udaranya, aku masih belum bisa membayangkan sosoknya, rasa takut dan was-was menyeruak di dalam jiwaku. Akankah aku temui sosoknya, bagaimana jika selama ini orang yang telah aku kagumi dan bayangkan ternyata jauh dari apa yang kuduga selama ini. Entah aku dibuat kalut dengan perasaan yang terdampar di ujung keresahan, bingung dan bimbang menjadi satu menyelimuti pikiran buntuku. Aku sebenarnya tak ingin berprasangka buruk terhadapnya, namun aku sedikit takut dan hampir saja menolak pertemuan itu, mengingat aku punya keyakinan dia adalah sahabat baikku dimaya, maka akupun menerima tawaran untuk mengadakan pertemuan pertama kalinya dengan dia di Kota Taipei.

            Pertemuan yang diharapkan itu sudah aku sanggupi, pagi ini aku sudah berada di dalam kereta menuju pusat Kota Taipei dimana perjanjian yang sudah disepakatipun bakal terjadi disana, sebuah pertemuan dua insan sahabat akan menjadikan memory di tempat berkumpulnya para pekerja biasa nongkrong.

           "Hallo, kamu dimana Harum?" suara di seberang yang sedang mencari keberadaanku. Dia menelepon dan memberitahukan bahwa dia sudah ada di sebuah toko Indonesia terdekat. Akupun menuju tempat dimana dia sedang menungguku saat itu. Perlahan aku berjalan menelusuri gang kecil menuju toko yang dimaksud, sesekali kulemparkan pandanganku ke arah beberapa lelaki yang sedang duduk sendiri, kurasakan detak jantung yang semakin berdegup kencang. Langkahku semakin berat ketika ponselku tengah berbunyi untuk kedua kalinya.

          "Kamu cantik ya Harum, aku sudah melihatmu." suaranya terdengar dari ponsel yang baru aku angkat, lagi-lagi aku tak bisa berkata, kucoba mencari asal suara itu, namun karena banyaknya orang disana, aku masih kesulitan mencari sosok yang aku harapkan.

         "Kamu jangan gitu ah, dimana sih kamu? jangan buat penasaran dong? keluar, kamu pakai baju apa?" pertanyaanku beruntun, dengan menoleh kanan dan kiri ku tatap satu persatu lelaki yang memegang ponsel, namun sosok Hendrick belum juga aku temukan.

         "Haiiii....'' suara keras dari sampingku, dimana tangan kananku dipegang oleh pemilik suara yang tak kusadari dia adalah seorang lelaki manis dengan sedikit kumis tipis sedang tersenyum ceria menatapku. Dia begitu manis dan berkulit sawo matang, tak lama genggaman tangan itupun ia lepaskan.

         "Kamu siapa?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

         "Kok siapa sih? bukankah kamu mencari aku? aku kan Hendrick?" jawabnya ringkas.

         "Oh, kamu ya? maaf banget, aku kaget saja dengan caramu menegurku, kirain siapa, habis..." belum lamaku meneruskan perkataanku, Hendrickpun menyahut.

         "Habis tak ada foto dan ciri-ciri orangnya kan? maaf banget deh, sudah buat penasran kamu. Ternyata Harum yang selama ini aku lihat di foto lebih jelekkan aslinya ya? eh salah, maksudku lebih cakepan aslinya." guraunya dengan muka yang begitu ramah.

          Akupun sempat mencibirkan bibirku ke arahnya, tangankupun tak kusadari telah menyentuh tangan kirinya ketika kami seiring melangkah menuju toko makanan disana. Entah semenjak dia berada dihadapanku, aku tak bisa berkata apa-apa melainkan rasa senang yang menyelimuti seluruh perasaanku. Sebenarnya aku tak ingin hanyut dalam pertemuan yang membuatku semakin salah tingkah itu, tapi kusadari ada sedikit rasa kagum yang berubah menjadi rasa lain, dan aku tak tahu apa rasa itu sebenarnya. Aku tak bisa mengungkapkan dalam waktu dekat ini, aku tak tahu apa yang telah menjadikanku semakin merasakan kehangatan meski udara dingin Taipei sama sekali tak bersahabat dengan kami.

         "Nih, aku sudah pesan masakan kesukaanku." kata Hendrick, ketika menyuguhkan menu masakan yang sudah tak asing lagi di hadapanku. Lalapan segar dan beberapa mentimun yang sengaja diiris sedemikian rupa, apalagi dengan daun kemangi yang begitu terlihat muda, membuat selera makan semakin lebih mantab.

         "Yang hitam dan kelihatannya pedas itu apaaan sih? baunya menyengat banget," tanyaku penuh heran. Aku sempat menunjuk ke arah gundukan nasi putih, diatasnya telah ditaruh sesuatu yang sedikit terlihat coklat kehitaman, seperti adonan sambal.

         "Justru ini kesukaanku, ini yang dinamakan calok, kamu tahu kan?" tanya Hendrick meyakinkanku sudah mengenal barang yang satu itu. Dia sempat menyodorkan makanan dan mendekatkan ke arah hidungku.

         "Maksudmu terasi ya?'' tanyaku kemudian, sedikit terpancing dengan bau yang punya ciri khas menyengat hidung itu, apalagi sudah lama aku tak pernah mengonsumsi makanan itu, cukup lama.

         "Bagus, jawaban tepat. Kamu memang pandai banget Harum, yang terasi biasanya itu yang digoreng bersama lombok dan bumbu lainnya, tapi kalau calok  itu dibakar dulu, rasa yang dihasilkanpun akan lebih gurih dan baunya pasti lebih sedap. Nanti kamu ikut ngerasain deh ya?'' jelasnya, dengan wajah yang semakin membuatku ikut tersenyum, baru kali ini aku temukan sosok lelaki dewasa dan berpenampilan sederhana tapi sangat melindungi banget, ada rasa nyaman bersamanya. kelucuan dan keramah-tamahan dia pulalah yang tak bisa membendung rasa salut di dalam hatiku.

         "Apa bedanya juga yah? emangnya enak tuh apa namanya, itu calok  yang kamu maksudkan?" tanyaku penuh penasaran dengan makanan yang disebut oleh Hendrick.

         "Nih, kamu rasakan sendiri, bedakan dengan yang terbuat dari terasi goreng, ini lain tentunya." jawab Hendrick mantab, sembari menaruh sambal terasi yang dia maksudkan.

          Akupun mencoba menyicipinya, kurasakan sedikit berbeda dengan sambal terasi yang biasa aku makan, benar-benar rasanya beda banget, lebih harum dan sangat enak, pantas saja Hendrick lebih menyukainya. Ku lihat cara makan Hendrick, lelaki berhidung mancung dan berkulit sawo matang itu nampak manis terlihat, cara dia makan pun juga bersih dan terlihat rapi, penampilan sederhananya yang santai tapi rapi membuatku berdecak kagum. Rambut lurus yang di sisir rapinya terlihat begitu bersih, bahkan ketombepun tak terlihat, tak seperti banyaknya lelaki yang sering ku perhatikan disana. Cara bicaranyapun tegas dan berwibawa, dia ternyata orangnya tak suka berbelit dan langsung to the point, tidak banyak ngomong yang sekiranya tak perlu.

          Hendrickpun membayar semua jumlah menu makan siangku, aku mencoba menolaknya tapi dia bersikeras untuk membayarnya, baginya tidaklah seberapa dibanding dengan harga persahabatannya. Mendengar ungkapannya yang begitu tulus itu, akupun hanya bisa melemparinya dengan senyuman. Tak lama setelah kami berdua makan di sebuah toko masakan Indonesia itu, Hendrick mengajakku menuju ke sebuah tempat, dimana dia akan bicara banyak tentang siapa dia dan sedikit pengalamannya dalam menggambar.

          "Memangnya kita mau kemana nih?" tanyaku ketika melewati sebuah taman dekat sebuah stasiun.

          "Ndak kemana kok Harum, cukup di taman terdekat sini saja, kita mencari tempat yang sejuk dan nyaman, kitapun juga bisa leluasa menatap keindahan alam di sekitar sini, bukankah keindahan alam lebih bagus dari suasana pengabnya sebuah ruangan? toh juga kita tidak perlu biaya banyak, yang pasti pertemuan ini takkan mengecewakan kita berdua, ia kan?" jelas Hendrick meyakinkan, kembali senyumnya menghiasi wajah ovalnya, sesekali aku melirik ke arahnya yang dari samping mirip seperti artis Ibukota Thomas Djorghi.

          "Ide bagus juga menurutku, jujur aku juga menyukai sesuatu yang berhubungan dengan alam, baik itu taman, pepohonan, suasana laut dan pantai atau pemandangan yang menjanjikan keindahan alamnya." terangku padanya.

          Aku sendiri tak mengira, ternyata sosok Hendrick juga menyukai hobi yang sama denganku, lagi-lagi kesamaan diantara kami berdua menjadikanku merasa nyaman dan nyambung di dalam pembicaraan. Hendrick sempat membuka tas ranselnya, dikeluarkannya beberapa benda yang tak lagi asing di mata ku. Dia mengeluarkan kertas ukuran 40 cm x 25 cm, lalu kotak pensil atau disebut dengan drawing pencilsberbagai nomor, mulai dari ukuran 2H, hingga sampai yang 9B lengkap. Aku yang ada disampingnyapun hanya melihat gerak-geriknya yang begitu cekatan mengolah beberapa pensil dan penghapus yang ada di dekatnyapun sama sekali tak ia gunakan, mungkin karena dia terbiasa leluasa dengan imajinasinya, jarang salah dalam menggoreskan sketsanya.

          Mungkin hanya hitungan detik aku telah mendapati sketsa yang sudah dibuat oleh Hendrick, aku tersentak kaget dan hampir tak bisa mempercayainya. Gerakan halus dan berani diatas kertas putih itu kini telah membentuk seorang wanita yang memegang telepon, wanita dalam lukisan itu tak lain adalah diriku, yah benar diriku.

         "Kamu melukis aku? apakah aku tak salah menebak coretan yang kamu buat sekarang?" tanyaku penuh dengan ketakjuban. Lagi-lagi aku mendekati kertas yang masih berada dipangkuan Hendrick saat itu.

         "Benar, ini adalah kamu Harum, mirip kan?" tanyanya, sembari mendekatkan lukisan itu tepat dihadapanku, begitu mirip dan sama persis dengan wajahku, aku jadi malu saat itu.

         Bunga-bunga di taman bermekaran penuh dengan indahnya, tak seindah dengan apa yang kurasakan saat itu. Langit biru yang menghiasi kota Taipei saat itu, tak secerah hatiku ketika kekagumanku selama ini bukan di dlam angan semata, diriku terbawa keindahan yang selama ini belum aku rasa, baru kali ini wajahku dilukis oleh seorang lelaki berjiwa seni sepertinya, mataku tak sanggup menatap ke lembar kertas itu, rasa tak percaya masih menggelayutiku, itu nyata dan bukan mimpi semata.

         "Harum, ngapain kamu!" sergah Hendrick membuyarkan lamunanku.

         "Nggak ngapain kok, cu... cu... cum... cuma tak percaya dengan apa yang aku lihat saat sekarang ini," jawabku sedikit ragu dengan hasil akhir coretan Hendrick.

         "Ini hanya hasil yang bisa kuberikan untukmu disaat sekarang, aku tak bisa memberi yang berlebih untukmu, apalagi dengan keadaanku yang sulit mencari tempat laminating dan membeli figuranya." terangnya penuh dengan mimik yang kecewa.

         "Tak perlu, cukup dengan ini saja aku sudah merasakan bahagia kok, sungguh. Hendrick, jangan berlebih, untuk kedua keinginan itu aku bisa usahakan sendiri deh, lagian aku banyak waktu dan kenalan untuk mendapatkannya, jadi tak usah terlalu repot untuk memberikanku dengan sempurna. ya?" pintaku dengan wajah serius. Sempat aku memegang pundak kanannya, berharap dia akan mengerti apa maksud baikku.

         "Aku tahu, niatmu tulus, niatmu baik, tapi dengan melihat perjuanganmu yang sudah mempersiapkan semua ini begitu terencana, aku sudah merasa senang kok." lanjutku kemudian.

          Kami berduapun tersenyum, Hendrick melanjutkan karyanya yang hanya sebentar sudah terlihat rapi, mirip dengan sosokku, imajinasinya membentuk posisiku dengan gaya memgang telepon dan menatap ke arah depan, aku suka dengan hasilnya. Tanpa kusadari Hendrickpun melanjutkan perbincangannya, dia berniat menyetujui rencana dan usulanku seminggu pekan, dia bahkan merasa senang bisa menerima tawaran menarik dariku. Kuingat sekali lagi memoryku, ternyata aku hampir lupa dengan ajakanku padanya untuk bergabung dalam membuat sebuah karya, aku menginginkan dia bisa menjadi salah satu orang yang bisa mengkreasikan lukisannya dari sosok-sosok tokoh yang ada di cerpen yang sering kubuat.

          "Jadi kamu mau membuatkan lukisan untuk setiap hasil karyaku, kamu menyetujuinya?" tanyaku yang hampir tak percaya akan kesanggupannya.

          Hendrick hanya mengangguk dibarengi dengan senyum manisnya, diapun juga memberikan kode jari telunjuk dan ibu jari yang kedua ujungnya dia satukan, sementara ketiga jari yang lain tetap berdiri.
Aku saat itu bangkit dan lonjak kegirangan, seperti mendapatkan undian lotre Taiwan. Bagiku itu adalah mimpi di siang bolong, namun semua itu bisa menadi kenyataan yang tak terduga. Jujur, aku menyukai hasil cerpen yang kubuat selalu diwarnai dengan ilustrasi lukisan karya Hendrick, bukan seperti yang diterbitkan melalui internet pada umumnya, aku inginkan Hendrick menjadi satu bagian dalam setiap karya-karyaku yang akan terbit. Susah? mungkin itu sesuatu kendala, tapi selagi Hendrick dn aku masih bisa berusaha untuk mewujudkan mimpi indah itu, mungkin tujuan dan harapan kami bisa terbukti nyata.

          Hendrick pernah mengutarakan padaku, bila saja dia memperdalam lagi cara menggambar dan melukisnya, mungkin dia akan mendapatkan tempat yang begitu berbeda di kalangan masyarakat, namun dia terus berusaha untuk lebih bisa belajar dan belajar lagi. Aku sendiri terus  menyemangati Hendrick, begitu halnya dia yang selalu memberikan dukungan untukku. Bangga dan senang tak terkira aku bisa mengenalnya, bahkan bekerja sama untuk terus berkarya, sengaja kami berdua mengincar sebuah majalah dan tabloid lain yang insyaalloh akan menjadi sumber inspirasi untuk karya-karya terbaru kami berdua. Itu sudah menjadi impianku dan Hendrick untuk lebih bisa menyalurkan bakat terpendam ini.

           Senja telah merapat, langit terlihat menghitam, aku merasakan ada sesuatu yang harus aku ingat, yah tentunya pulang jangan terlalu malam. Hendrick tak menghiraukan kerisauanku, itu terlihat dari keasyikannya yang sudah menggulung hasil lukisan dengan tali pita warna merah muda, sepertinya dia sudah mempersiapkan dari rumah.

            Dia menyerahkan kepadaku, aku menerima dengan senang hati, tak lama akupun berpamitan padanya. Benda perak yang melingkar di pergelangan kirikupun terlihat sudah menunjuk ke angka 17:00 PM, aku segera bergegas dan siap meninggalkan Hendrick, hal itupun dia ketahui karena aku masih menjaga anak-anak majikan yang malam nantinya masih dalam tugas kerjaku.
Segeraku menuju stasiun Taipei dan membeli tiket menuju Taipei County dimana aku bekerja, Hendrickpun mengijinkan aku untuk berpamitan, dia yakin jika dalam suatu kesempatan nanti kami akan berjumpa lagi.

            Malam, ketikaku ingin merebahkan tubuh dalam rasa capekku, terpintas bayangan Hendrick yang dengan rasa percayanya ingin berbagi karya denganku, aku tak bisa memberikan ide-ide indah dan menjanjikan sebuah makna kisah cerita hidup, tapi aku hanya mengatakan padanya dengan berinspirasi dalam cerita, sama halnya dengan dia berimajinasi meluapkan segala apa yang ada di dalam pikirannya untuk menciptakan karya seni indah yang dinikmati oleh semua orang.

           Aku, hanya berangan dan berharap bisa mewujudkan mimpi-mimpi yang telah berjajar memenuhi tangga-tangga keberhasilan, aku tak ingin berhayal lebih akan persahabatanku dengan Hendrick, tapi aku yakin kehadirannya adalah anugerah untukku lebih bisa memahami bahwa perbedaan ini memang indah. Dari satu sisi aku bisa menuliskan apa yang aku ingin tulis, sedangkan dari sisi Hendrick, dia adalah seorang yang bisa berimajinasi tinggi tanpa harus bertolak belakang dengan kenyataan, dari jiwa seninya itu dia bisa mengembangkan apa yang dia mau, dari karikatur, melukis keindahan alam, meluangkan waktunya untuk berimajinasi lebih banyak lagi.

           Ketikaku membuka email facebookku, terdapat satu pesan di inbok, segera aku buka dan yang tak lain adalah dari Hendrick, disana ia telah menulis pesan untukku, pesan singkat yang memberiku sebuah dukungan serta semangat baru , pesan berkesan yang tak pernah aku lupakan.

           "Dear, Harum sahabatku,
Terima kasih untuk pertemuan hari ini, salut dan bangga akan semangatmu, sahabat.
Kurasakan diantara kita memang banyak perbedaan, namun percayalah perbedaan yang ada diantara kita ini adalah perbedaan yang indah."

Aku hanya bisa tersenyum dan teringat pesan serta semangat itu, tanpa aku pikir panjang lagi, segeraku membalas inbok yang ada. Semoga pesan di kotak kecil itu lebih membawa nilai tersendiri buat pembacanya, ku harap manfaatnya tak sekecil dengan kolom yang ada.

          "Dear, Hendrick sahabatku,
Terima kasih kembali untuk waktumu hari ini, aku sendiri juga salut akan dirimu, sahabat.
Perbedaan ini bukan untuk di jauhkan, justru dengan perbedaan ini sebenarnya sebuah karya akan lebih penuh makna, aku yakin dan percaya, pertemuan kita ini adalah anugerah terindah dari Alloh SWT semata, kesempatan ini kita gunakan sebaik-baiknya."


                                                                     ***The End***
 ·  · Share

0 comments:

Post a Comment