Tuesday 3 January 2012

Darah

Satu hal yang memberi keberanian padaku untuk mem-posting cerpen ini. "Orientasi pada proses bukan pada hasil". Satu minggu untuk membuat cerpen, terlalu cepat buat pemula sepertiku. Berat dan ga mudah. Dan ini cerpen ke-2 yang bisa aku buat. Mohon saran dan masukkannya, Terima kasih.

DARAH

Matanya tiba-tiba saja menarik perhatianku. Mata sipit yang dua tahun lalu pertama kali aku tatap itu, telah menjeratku dalam sebuah tanya. Kini, dari kedua lorong hati itu aku hanya menemukan kedukaan. Tapi kenapa? Bukankah selama ini dia baik-baik saja?

Hembusan angin musim panas memapar tubuhku yang hanya mengenakan setelan dari bahan katun tipis itu. Keringat yang tertahan telah mengucur deras dan meninggalkan bercak-bercak noda pada punggung dan dadaku. Tak ada kenyamanan lagi saat ini. Kenyamanan yang ku rasa beberpa menit lalu, saat air dingin mengguyur tubuhku. Kesegaran saat mandi itu kini telah benar-benar sirna, karena beberapa menit setelahnya, aku harus mengayuh sepedahku untuk berada disini. Menatap mata sipit yang kini sembam itu.

Sudah beberapa menit kami berdiri dalam kebisuan. Namun tak ada kata yang terucap darinya. Tawa-tawa kecil yang biasanya aku dengar disetiap tuturnya, saat ini mendadak menghilang. Aku dapat melihat keletihan dari tubuh mungilnya yang tersandar dipohon tempat kami berteduh. Sesekali ku lihat dia menghela nafas panjang. Guratan-guratan kesedihan semakin nampak diraut mukanya.

“Adakah yang perlu aku dengar saat ini?” tanyaku memecah keheningan.

Dia masih saja tak mau menegakkan kepalanya. Hanya sesekali aku menatap mata sipitnya diantara helaian rambut panjangnya yang terhembus angin. Dia sepertinya memang tak menginginkan aku membaca apapun dari kedua mata itu.

“Aku telah menemukannya.” Jawabnya tanpa nada.

“Lalu?” Aku begitu antusias mendengar jawaban yang akan meluncur bertubi dari mulutnya. Begitulah. Biasanya kecerian saja yang aku liat selama aku mengenalnya. Tapi, yang ku tanya diam. “Mengapa engkau diam? Bukankah seharusnya kamu bahagia setelah tujuanmu kesini menemukan hasil?”

Tak satu patah katapun keluar dari mulutnya untuk menjawab pertanyaanku itu. Kini dari sudut-sudut mata sipit itu aku melihat butiran-butiran kristal yang siap meluncur. Tubuh mungilnya bergetar menahan gejolak hatinya. Aku semakin tak paham dengan apa yang telah dia alami.

Hampir dua tahun aku mengenal wanita dihadapanku ini. Waktu itu kami sama-sama kebingungan mencari jalan keluar setelah pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara Taipei. Apalagisaat itu pertama kali kami melangkahkan kaki di Taiwan.

“Ching….Wennnnn…., Si…Siiau Cie?” kata-kataku terbata kala itu. Disaat aku masih mengingat kata-kata yang ingin aku ucapkan, dia menyapa dengan senyuman ramahnya.

“Nyantai aja mas, kita mempunyai masalah yang sama koq. Aku juga lagi kebingungan mau cari jalan untuk keluar nie. Soalnya temen-temenku meninggalkanku ketika aku ke toilet” jawabnya setelah melihat wajahku yang payah mengingat kosakata mandarin yang sempat aku pelajari saat dipenampungan PJTKI. “Ga’usah kagetlah. Aku juga orang Indo. Dan  seperti mas juga, ini pertama kalinya aku ke sini.” Imbuhnya.

Sepertinya dia telah menerka apa yang aku pikirkan. Mata sipit dan kulit muka yang putih pualan, yang identik dimiliki orang-orang berkebangsaan China itu, telah mengelabuhi mataku. Mungkin saja dia Indo keturunan, pikirku saat itu.

Dari perkenalan kami, aku mengetahui namanya Aileen. Tak banyak yang kami obrolkan waktu itu. Karena beberapa waktu kemudian dia telah dijemput agen dan keluar meninggalkan bandara. Namun sebelumnya  dia sempat memberikan no telpon temennya yang telah dulu berada di Taiwan. Katanya jika sewaktu-waktu aku membutuhkan teman, candanya. Akhirnya beberapa bulan kemudian kami akrab melalui telepon dan beberapa kali bertemu.

Selama aku mengenalnya, aku tau, Aileen  tergolong orang sangat optimis mengenai masa depannya. Tak pernah ku lihat dia murung. Dari beberapa kali bertemu, ia sempat menceritakan tentang masa lalunya. Masa lalu yang membawanya ke Taiwan.

“Sebenarnya ibuku melarangku pergi kesini” katanya sambil menikmati hidangan makan siang disebuah rumah makan waktu itu.

“Lalu kenapa kamu memaksa pergi kesini? Bukankah katamu, ibumu adalah yang paling berharga dalam hidupmu saat ini?” tanyaku.

“Itu benar. Tapii……seseorang dari masa laluku membawaku kesini.”

Kulihat matanya menerawang menembus kaca dari tempat duduk kami. Melihat hilir mudik kendaraan yang siang itu padat merayap. Selama kami berbincang-bincang siang itu, tangannya tak pernah berhenti memain-mainkan cangkir coklat kesukaannya. Ada kegundahan kulihat dari raut mukanya. Meski saat kutanya, ia selalu mengatakan baik-baik saja.

Dari ceritanya, aku tau bahwa ibu yang dicintainya pernah bekerja di Jakarta pada seorang Indo keturunan. Selain mengurus rumah dan ditoko milik majikannya tesebut, tak banyak yang bisa ibunya kerjakan disana,. Dan disanalah, ibunya diperkenalkan dengan teman majikannya yang berasal dari Taiwan. Katanya pengusaha Taiwan tersebut tertarik dengan keluguan dan kecantikkan ibunya dan berniat untuk menikahinya. Singkat kata, akhirnya ibunya pun menikah dengannya. Kemudian setelah menikah ibunya diboyong ke Taiwan dan tinggal bersama suaminya tersebut. Tapi sayangnya, hanya 2 tahun saja ibunya bertahan dikehidupan Taiwan, yang akhirnya memilih untuk pulang kampung.

“Saat itu aku masih 6 bulan dalam kandungannya. Kepulangannya ini tanpa disertai suaminya. Ayahku memang tidak bisa ikut serta karena harus mengurus perusahaan miliknya. Begitu kata ibuku.’ Kenang Aileen kala itu.

Lagi-lagi matanya menerawang jauh. Wajahnya yang putih tanpa ekspresi menatap kejalan yang kini mulai ditinggalkan penggunanya. Aku yang duduk dihadapnya menatap pemilik mata sipit itu. Menunggu kelanjutan cerita keluar dari mulutnya. Rasa iba tiba-tiba hadir dalam perasaanku saat menatap gadis belia dihadapanku itu. Diusianya yang belia ternyata begitu banyak beban yang ia rasa.

“Sayangnya, hingga aku lahir. Pria itu tak pernah ada disamping ibuku. Sering kali aku menanyakan keberadaannya pada ibuku. Tapi tak pernah terjawab. Aku hanya anak kecil waktu itu, tak tau banyak. Hanya saja aku sering melihat ibuku menangis dimalam hari disaat dia mengira aku telah tertidur.”

Penantian-penantian panjang Aileen kecil baru saja dimulai. Satu, dua, tiga tahun berlalu. Tak ada satupun sosok yang muncul dihadapnya yang bisa dipanggilnya ayah. Satu hal yang bisa menghiburnya hatinya. Diisetiap hari ulang tahunnya tiba, selalu saja ada bingkisan besar berwarna merah sebagai kado ulang tahunnya. Kata ibunya, ayahnya lah yang mengirimkannya untuk Aileen. Karena dia merasa bersalah tak bisa hadir dan menemuinya di hari ulang tahunnya.

“Aku hanya bisa percaya. Karena pada kenyataannya, barang-barang yang aku terima itu semuanya berharga mahal. Dan tak mungkin ibu yang hanya seorang buruh cuci mampu membelinya.” Seulas senyum masam hadir mengakhiri ceritanya.

Begitulah. Setiap tahun ada saja hadiah yang Aileen kecil terima dari ayahnya. Boneka, baju mahal yang meski kebesaran dan juga mainan yang dia selalu bangga-banggakan kepada kawan-kawannya. Namun sayangnya diusianya yang genap 10 tahun, dia mengalami kekecewaan. Karena tak ada lagi kado-kado mewah untuknya. Di tahun-tahun berikutnya, hanya pengharapan dan pengharapan yang akhirnya ia rasa. Pengharapan bahwa suatu hari pria yang pernah menikahi ibunya itu akan hadir untuknya. Hingga akhirnya ia memilih untuk menjadi TKW dan berharap mendapatkan berita tentangnya.

Begitulah kisah gadis yang kini berada didepanku ini. Ia telah lama mengharapkan bertemu dengan sosok yang menjadikan dia hadir di dunia. Tapi kenapa setelah sekian lama dalam sebuah pengharapan, kini dia malah bersedih setelah menemukannya?

Kesenyapan masih saja menghimpit tak memberi keleluasaan bagi hati kami untuk saling bertukar rasa. Kenapa begitu susah untuknya terbuka? Bukankah tak ada lagi yang dia rahasiakan dariku? Aku masih bertanya-tanya melihat reaksi diamnya itu.

“Aku tak berniat memperpanjang kontrakku, Bi. Dua bulan lagi aku genap dua tahun dan aku berniat untuk pulang.” Kini wajahnya dapat kulihat lekat. Wanita yang pernah ku lihat kuat itu kini kulihat telah kembali. “Dan mungkin ini pertemuan kita yang terakhir.” Katanya lagi sambil beranjak meninggalkanku.

“Ai, Jangan pernah menyesalkan keberadaanmu disini.” Kataku sebelum dia pergi.

Pemilik mata sipit itu hanya mengangguk kecil. Seulas senyum mengakhiri perjumpaan kami siang itu.

Beberapa hari berlalu tanpa makna. Tak ada kabar dari Aileen. Seberapa sering aku melihat Hpku, sesering itu pula aku menemukan kecewaan. Tak ada SMS ataupun panggilan tak terjawab disana.  Sedangkan ketika kucoba menghubunginya, selalu saja mampir di inbox-nya.

Timbul kegelisahan dalam hatiku. Tak biasanya dirinya seperti ini. Apalagi terakhir kami bertemu hanya beberapa kalimat saja yang ia katakan padaku. Kerancuan-kerancuan hati ini terus mengusik. Hingga pada suatu pagi disaat aku pulang dari kerja, aku menemukan sepucuk surat terselip dibawah pintu kamarku. Terbubuh namaku disana, Abimanyu.

Perlahan aku membuka surat itu. Dibagian atas surat itu, penulisnya menuliskan tanggal dua hari yang lalu. Namaku juga tertuang ulang disana.

Chungli, 10 November 2011
Dear Abimanyu

Hai, Bi.
Semoga kamu baik-baik saja saat membuka suratku ini. Aku tau kamu mencoba menghubungiku beberapa hari ini. Begitupun sebenarnya aku. Baru beberapa hari saja kita tidak saling bercerita, namun aku merasa sudah lama dan terlalu banyak yang hilang dalam hidupku. Maafkan aku karena tak membalas SMS atau mengangkat telepon darimu. Aku butuh waktu, Bi.

Seperti kataku sebelumnya, aku telah menemukan yang ku cari. Ini semua berkat temen-temenku. Berbekal alamat yang aku dapat dari kiriman kado saat aku kecil, kami melacaknya. Hampir dua tahun kami mencarinya. Dan di taman tak jauh dari sebuah panti jompo di kota ini aku menemuinya.

Sebenarnya, banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu tentang pertemuan kami. Namun ternyata hatiku tak cukup kuat siang itu.

Malam yang sama ketika kita bertemu, aku menghubungi ibuku. Beliau sangat kuatir mengenai diriku. Atas desakkanku akhirnya beliau menceritakkan semuanya.

Setelah menikah, ayahku membawa ibuku ke Taiwan. Ibuku tinggal disebuah villa mewah milik ayahku. Bukan sebagai permaisuri seperti yang dibayangkan ibuku, tetapi menjadi seorang babu untuk mengurus tiga villa yang salah satunya ditempati kala itu. Ibuku harus membersihkan villa-villa tersebut tiap pagi layaknya pembantu. Dan diakhir pekan, ibuku masih harus melayani nafsu suami yang sekaligus laopan-nya itu.

Ibuku tak bisa berbuat apa-apa kala itu. Suaminya melarangnya meninggalkan rumah. Dia juga tak menginginkan anak dari ibuku. Dua tahun Ibuku hanya mampu bertahan disana. Dibantu sopir pribadi ayahku, akhirnya ibuku kabur dari villa tersebut. Terlebih setelah ia mengetahui dirinya mengandung. Ia tak ingin aku digugurkan seperti permintaan ayah.

Itulah kenyataan pahit yang selama ini ibuku pendam dariku. Ibuku tak ingin aku kesini untuk terluka sepertinya.

Dan beberapa hari ini aku telah memikirkan semuanya. Berfikir apa yang sebenarnya aku inginkan. Memahami apa yang aku butuhkan. Dan itu adalah ibuku.

Memang darah yang mengalir ditubuhkulah yang memberi dorongan aku kesini. Tapi aku tak mungkin bertahan disini lagi. Terlebih setelah aku tau, ayah yang aku harapkan tak pernah mengharapkan dan menganggapku ada. Aku tak mungkin hidup satu  kota dengan laki-laki yang memilih menghabiskan hidupnya di panti jompo setelah anak-anaknya menelantarkannya. Ia telah memilih. Memilih lebih anjingnya yang selalu membawanya jalan-jalan di taman setiap sore. Bahkan waktu kami bertemu, ia tak pernah mau menatapku. Ia takut, karena terlalu banyak kemiripan diwajah kami.

Oh iya, mengenai kado-kado yang kuterima saat aku masih kecil, itu bukan dari dia. Sopir pribadi yang membantu ibuku kaburlah yang berbaik hati mengirimkannya untukku. Sayangnya sepuluh tahun setelah ku lahir dia meninggal dunia, oleh karenanya tak ada lagi koda special itu untukku.

Bi, aku telah memutuskan yang terbaik untukku. Aku menginginkan pulang secepat mungkin. Dan ini aku utarakan ke majikkanku dan mereka mau menerimanya. Mungkin saat surat ini kamu baca, aku telah meninggalkan Taiwan.

Terima kasih banyak telah berada untukku dan mau mendengar kisahku. Semoga Tuhan mempertemukan kita suatu hari nanti.

AA

Rangkaian kata-kata dari surat itu terus saja berulang diotakku. Aku tak mampu membayangkan rasa apa yang ia miliki sekarang. Dan kini dia telah pergi. Meski baru dua tahun kamii bersama. Terlalu banyak hal tentangnya yang mengakar dihatiku.

Kepergiannya kini telah membawa sebagian dari hatiku. Hilang itu tak akan pernah terganti. Doaku semoga Tuhan masih mempertemukan kami kembali suatu hari kelak. Dan sebelum hidup itu mempertemukan kami kembali, aku harus menjalani kehidupanku di Taiwan ini sendiri.



  • Hafnidar Hasbi iya, setelah pencarian bermenit menit akhirnya memberanikan diri bertanya, e...nggak tahunya sblm dijawab yg cari telah ditemukan...happy ending :)
    13 November 2011 at 09:46 · 
  • Hafnidar Hasbi trims mas Nayo Aja
    13 November 2011 at 09:47 ·  ·  1
  • Hafnidar Hasbi 
    Ijin mengomentari ya mas @Nayo Aja..Menurut saya, ini salah satu contoh cerpen yang kupasannya fokus dan dalam. Keindahan cerpen ini ada di permainan kata2 yang cukup lihai diungkapkan oleh penulisnya. Cerpen ini juga punya alur yang baik,yang mengalirnya cukup lancar sehingga pembaca tdk sadarkan diri telah dibawa penulis sampai ke penghujung tulisan. Pesan yang masih berkesan di saya stlh membaca cerpen ini adl rasa kasihan pada Aileen dan Ibunya, mgkn jd pelajaran bg perempuan2 yang lain agar jgn lekas menyerah pada bujuk rayu laki2, selayknya teliti dulu. Congrtl Mas @Nayo Aja, saya harus belajar banyak ni sama mas @Nayo Aja...:)
    13 November 2011 at 16:48 ·  ·  2
  • Tina Yanesh bagus... cerpen curhat nih nampaknya he he..
    nunggu yang senior dulu komen deh.... karena saya ada sedikit kurang paham, dengan judulnya " darah".. maaf ya mas Nayo ^ ^
    13 November 2011 at 19:38 · 
  • Ashif Aminulloh 
    empat jempol untuk mas nayo. ini cerpen yg indah. mas nayo efektif memilih diksi dan cakep memainkan peran. tokoh yg dipilih pas dengan penggambaran dan alur. tema yg diangkat juga relevan sama kondisi realita. (kasus penyalahgunaan nikah indo-taiwan)

    ada beberapa yg perlu diperbaiki menurut saya: penulisan redaksi: temen-temen harusnya: teman-teman, jg ada kata "laopan" di "...yang sekaligus laopan-nya itu" itu maknanya apa sy kurang familiar.

    ada jg pengulangan diksi yg menurut saya kurang baik. seperti kata begitulah di
    "Begitulah. Setiap tahun ada saja hadiah yang Aileen..."
    paragraf lanjutnya jg
    "Begitulah kisah gadis yang kini berada didepanku in..."
    seharusny bs diganti kata lain yg tidak sama sehingga tdk bikin pembaca bosan.

    secara umum pemilihan diksi sudah baik, hanya di bagian tengah -paragraf 16 ke atas - kok kayaknya ada yg berubah, entah perasaan saya aja tp mungkin memang pemilihan diksi yg indah jadi agak menurun, baru di akhir jd bagus lagi.

    judul jg menurut saya agak kurang menggambarkan keseluruhan cerita. darah-kalau menurut saya tidak menggambarkan bagaimana penantian tokoh utama pada bapaknya kemudian kekecewaannya di akhir. seharusnya bisa diganti yg lebih dramatis. judul bisa berupa frase, "kepergian nenek" (bukan: "nenek pergi", kalw ini kalimat). pemilihan judul ini harusnya bs dimaksimalkn krn judul adalah perwajahan pertama kt k pembaca.
    13 November 2011 at 21:57 ·  ·  3
  • Tina Yanesh makasih nih senior dah koment..^ ^
    yang komen terakhir agak sama dengan pendapat saya, kudul dengan isi cerita seperti terpisah...
    maaf mas nayo... cia you... sama sama belajar ^ ^
    13 November 2011 at 22:01 · 
  • YuheRina 于麗娜 Gusman setuju sama om Ashif... sy kurang sreg dg judulnya... pdhl isi cerpennya bagooosss... seperti biasa, sy suka dgn permainan kata Mas Nayo ^^ Walau sempat 'agak' bosan di pemaparan ttg ibu si Aileen, mungkin krn pendeskripsiannya yg kurang bermain kata, beeuh :P Dan... masih ada beberapa kata yg harus di cek penulisannya. Mantab mas! :)
    13 November 2011 at 22:31 · 
  • Siti Allie 
    Cerpen nayo keren...terkuaknya siapa pengirim hadiah yang sebenarnya di akhir cerita juga menjadi kejutan yg manis :)
    Mau nanya sedikit sama mas Ashif Aminulloh dipertengahan cerpen ada kalimat :

    Kulihat matanya menerawang menembus kaca dari tempat duduk kami. Melihat hilir mudik kendaraan yang siang itu padat merayap.

    apa arti kata hilir mudik menggambarkan sesuatu yang berjalan cepat? sedangkan di akhir kalimat ada kata merayap? (edisi latihan comment )
    14 November 2011 at 00:19 · 
  • Ashif Aminulloh iya, memang kalimat ini rasanya kurang efektif. terutama kalimat kedua itu ternyata tidak punya subjek. "Melihat hilir mudik kendaraan yang siang itu padat merayap." mungkin kalau tanda baca sebelumnya koma, jadi nyambung dg subjek "mata".
    14 November 2011 at 00:42 · 
  • Ashif Aminulloh harusnya memang padat merayap saja atau hilir mudik saja, kalau digabung memang jadinya bingung, kita sedang lihat jalanan yg mobilnya melaju kencang atau jalanan yg mobilnya berhenti karena macet. :D
    14 November 2011 at 00:43 · 
  • Siti Allie ‎:D makasih mas Ashif Aminulloh
    14 November 2011 at 00:46 · 
  • Ashif Aminulloh sama sama mb... kita sama2 belajar kok. :)
    14 November 2011 at 01:00 · 
  • Nayo Aja 
    Terima kasih buat teman-teman (bukan temen-temen :)), yang telah memberi masukkan untuk cerpen ini. Insyallah ini sesuatu yang berarti guna memperbaiki tulisanku ke depan.

    m. Tina Yanesh, Judul DARAH sebenarnya aku tujukan untuk "darah dag...See more
    14 November 2011 at 01:06 ·  ·  1
  • Ashif Aminulloh kalau menurut saya cerita -terutama dlm cerita pendek-tidak semua harus disampaikan. hanya yg penting2 dan sesuai u membangun konflik yg bnr2 kita masukkan dalam alur. kl bagaimana membuat tulisan tidak monoton, harus pakai empati, jadi ada sisi2 perasaan yg dibangun, sehingga pembaca tergugah secara emosi bukan hanya tergugah karena informasi. begitu kira2 mas nayo. :)
    14 November 2011 at 08:11 ·  ·  3
  • Kwek Li Na wah...menarik.
    14 November 2011 at 16:18 ·  ·  1

0 comments:

Post a Comment