Tuesday 3 January 2012

Ngupil

Ngupil
By: Hafnidar Hasbi

Menjelang musim dingin, air langit memang kerap turun. Dari atas Apartement lantai delapan tampak jalanan aspal seperti kristal kaca. Di sana sini terdapat bayangan pepohonan dan gedung tinggi. Lukisannya terpoles pancaran redup warna warni lampu jalanan. Suasana semakin syahdu oleh suara jangkrik yang bersahut sahutan. Perbukitan Ba Da Chung selalu memberi inspirasi kepada makhluk kecil ini untuk bernyayi di setiap malamnya. “Ini bukan kota, Ini desa yang memiliki kota”, “jelas ini kota”, perdebatan sengit antara Gasih dan Nilam beberapa waktu yang lalu. Meski Gasih setuju pada hampir semua hal dengan Nilam, tetapi selalu saja perdebatan terjadi. Sebagai Ibu, tujuan Gasih hanya ingin membangkitkan kepercayaan diri Nilam dalam mempertahankan pendapatnya. Tentu saja pendapat yang didukung oleh segala bentuk argumen yang logis, ilmiah dan dapat dijelaskan dari berbagai tinjauan ilmu.

Gasih tipikal Ibu yang bertanggungjawab. Meski hanya berstatus seorang Ibu rumah tangga, Gasih memiliki tanggungjawab sosial yang begitu besar. Pergaulannya pun sangat luas. Teman teman gasih berasal dari berbagai kelas sosial. Bahkan beberapa dari mereka dalam waktu dekat ini akan memperoleh gelar PhD dari berbagai Universitas terkenal di Eropa. Meski hanya lulusan Sekolah Menengah Atas, Gasih tidak pernah terpinggirkan oleh mereka. Kemampuan Gasih menyesuaikan diri memang patut diacungkan jempol. Kemampuan itu pula yang membuat Gasih berhasil menduduki beberapa jabatan penting di organisasi sosialnya.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Gasih memang sangat sibuk. Di sela sela waktu luangnya, Gasih juga harus menemani suaminya dinas ke luar kota, tak jarang juga ke luar negeri. Namun demikian, Gasih tidak pernah mengabaikan perhatian pada keluarga. Bagi Gasih, komunikasi merupakan cara yang paling penting dalam mengungkapkan perhatian. Beda dengan beberapa temannya, bagi mereka Jarak dan kesibukan adalah masalah.

Diam diam Gasih sering dongkol mendengar pengaduan beberapa temannya yang sedang tidak bersama keluarga. Mereka mengaku hanya seminggu sekali menghubungi anak-anaknya yang ditinggal di rumah. “Anakku bosan ditelpon terus, apalagi selalu ditanyai apa kabar....”, cetus Mira, sahabat Gasih yang sedang belajar di Belanda. Kalo Ira yang sedang mendapat tugas dari kantornya untuk mengikuti training di Jakarta selama 3 bulan mengaku sudah terbiasa jarang berkomunikasi dengan keluarga. Kesibukannya sebagai wanita karir membuatnya harus bangun pagi-pagi berangkat kerja dan tiba larut malam di rumah dalam keadaan lelah. Lebih dongkol lagi ketika Gasih tahu, Leni tetangga sebelah rumahnya yang notabene cuma dirumah saja 24 jam, punya kebiasaan lebih jelek dari teman temannya yang lain. Ibu dua anak ini hanya bertanggungjawab menyediakan makanan dan menjamin keindahan rumah, selebihnya dihabiskan untuk fesbukan, Ibu ini jarang ngobrol dengan anak anaknya.

Semua ini tidak berlaku bagi Gasih. Gasih dan putrinya, Nilam tidak pernah merasa bosan berkomunikasi. Pernah suatu hari ketika Gasih berada di luar daerah. Gasih berdiskusi alot dengan Nilam melalui telpon. Gasih mengutarakan hasil observasi dan perasaannya pada Nisa. “Nis, mama kok nggak habis pikir ya, kenapa anak-anak sekarang, khususnya di kota kota besar kayak Jakarta ini, anak-anak baru usia 9 tahun sudah mendapatkan menstruasi. Memang sih kemajuan teknologi, media masa zaman sekarang jauh lebih canggih dibanding dulu sehingga anak-anak sekarang semakin familiar dengan suguhan yang berbau pornografi, tapi......” terdengar suara Gasih yang keibuan berapi api mengutarakan pendapatnya. Sebelum melanjutkan pendapatnya, Gasis menghela nafas sejenak “....tapi, zaman dulu, teman-teman mama juga banyak tu yang suka baca novel novel saru kayak Fredy S....Edward N....dan bla bla.....”.

Nilam menyimak dengan tenang apa yang dikemukakan Ibunya. Selama ini diskusi antara Gasis dan Nilam selalu menarik perhatian keduanya. Gasih begitu lihai memberi rangsangan kepada Nilam agar tereksplorasi semua kemampuan Nilam berpendapat. Keadaan ini semakin membuat Nilam gemar membaca. Nilam sering merelakan waktunya untuk mencari alasan atas statement yang terlanjur dikeluarkannya. Apalagi ketika Gasih berlagak bodoh atas ucapan-ucapannya. Gasih semakin semangat saja memberi penjelasan kepada Nisa.

Gasih dan Nilam memang tampak kompak sekali, terkadang mereka berdua tampak seperti kakak beradik. Bagi Gasih tidaklah sukar mengimbangi Nilam. Meski usia mereka terpaut 30 tahun, pengalaman hidup belasan tahun dengan berbagai usia di asrama sekolah dulu cukup mapan membentuk sekelumit bangunan sosok kanak kanak, dewasa dan orang tua dalam struktur jiwa Gasih. Struktur jiwa itu masih begitu utuh, siap dipanggil kapan saja. Struktur itu telah berhasil membuat Nilam begitu bangga menjadi sosok pelindung bagi ketidakberdayaan yang kerap diciptakan Gasih. Struktur itu pula yang menjadikan Nilam seperti balita kecil lucu yang kerap membangkitkan kegembiraan seisi rumah.
..................
Hari ini Nilam bangun lebih awal dari biasanya. Hatinya tidak kalah sejuk dari rintik hujan yang turun sejak kemarin sore. Dari jelendela dapur milik rumah mereka, tampak Burung Pipit bergoyang goyang di atas ranting cemara. Meski tangannya tidak berhenti mengguliti ikan, mata Nilam yang bening tidak bisa berhenti menatap ke luar. “Burung saja berani mengambil resiko dengan bertandang pada ranting yang lemah, mengapa aku tidak?” bisiknya. “Mestinya, hari ini, diusiaku yang genap 18 tahun, aku semakin berani berdamai dengan resolusi hidup yang telah kulukis di malam tahun baru itu...” Nilam terus bicara dalam hati sambil mengguliti seekor Ikan Tenggiri besar kesukaan orangtuanya. Ikan itu akan diolah Nilam menjadi Empek-empek kesukaan Galih dan suaminya. Jika orang lain memiliki kebiasaan menerima hadiah dihari ulang tahunnya, namun tidak dengan Nilam.

Nilam memiliki filosofi, dihari ulang tahun mestinya kita lebih membahagiakan orang yang selama ini telah membiarkan kita hidup bahagia, dengan demikian kebahagiaan kita menjadi lebih sempurna. “Bukti atas wujud rasa syukur pada yang maha kuasa...” tulis Nilam pada selembar kertas berpitakan pink yang diselipkan di atas piring empek empek untuk orang tuanya.
Nilam belia, tumbuh sempurna sebagai sosok gadis yang cerdas, mandiri, ramah dan penyayang. Status sebagai anak tunggal dari keluarga serba ada tidak membuatnya suka berhura hura dan manja. Setiap masalah dapat dilaluinya dengan sempurna. Persis seperti caranya menyelesaikan diskusi diskusi yang kerap diperdebatkan dengan Gasih, selalu saja berakhir dengan manis. Memecahkan masalah sudah menjadi kebiasaan Nilam sedari kecil. Semua ini tentu berkat kerja keras Gasih dalam mengasuh anak semata wayangnya. Keuletan Gasih kerap mendapat pujian suami dan teman temannya, meskipun sebenarnya ada satu hal yang paling ditakutkan Gasih dalam hidupnya yaitu ngupil.

Sejak menikah dan punya anak, ngupil adalah perihal yang paling ditakutkan Gasih. Gasih tidak pernah bisa membiarkan Nilam sendirian. Apalagi duduk melamun, terdiam merenungi sesuatu. Gasih sangat khawatir Nilam akan mewarisi kebiasaan ngupil dirinya. Gasih dilahirkan dalam keluarga kecil tiga bersaudara. Ayah Ibunya buruh tani di kampung. Mereka tidak pernah mengenyam pendidikan apalagi membaca koran, majalah, nonton TV dan media komunikasi lainnya. Sebagai anak bungsu, Gasih sangat tergantung pada orang tua dan dua orang kakaknya.

Gasih cerdas tumbuh sebagai anak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Gasih selalu penasaran dengan hal hal yang baru. Sayangnya, setiap kali Gasih mengajukan pertanyaan, selalu saja ejekan yang diterimanya. Orang tua dan kakak kakak Nilam jarang menghargai pertanyaan sederhana yang keluar dari mulut Gasih kecil. Suatu hari Gasih penasaran sekali dengan cabai yang berwarna merah dan rasanya pedas. Menurut Gasih merah itu warna yang menarik, tetapi mengapa rasanya begitu jahat sehingga anak kecil seperti dirinya dilarang makan. Gasih kecilpun bertanya “ini apa Ma? mengapa cabai warnanya merah? mengapa rasanya pedas?” Orang tua Gasih yang tidak pernah mengecap pendidikan sukar sekali untuk meladeni pertanyaan bodoh seperti ini. Seringkali Ibu Gasih tidak mau mengubrisnya. Dua orang kakaknya dengan suara tinggi membentak Gasih untuk segera diam. Kejadian ini terus berulang sampai pada suatu hari Ayah Gasih benar benar murka atas celotehan Gasih kecil. Ayah tidak jadi meneruskan makan malam hanya karena Gasih bertanya mengapa kotorannya berwarna kuning. Gasih benar benar ketakutan dan lari ke luar rumah.

Sejak saat itu, Gasih benar benar memilih diam. Dia tidak pernah memberanikan dirinya lagi untuk mengajukan pertanyaan kepada siapapun. Rasa keingintahuannya berusaha dijawabnya sendiri. Membaca adalah pelabuhan terakhirnya. Gasih selalu berusaha mencari tempat senderan terbaik untuk duduk termenung sambil memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang hidungnya yang kecil. Pekerjaan mengupilnya berjalan seiring dengan pikirannya yang terus mengolah setiap kalimat yang baru saja dibacanya. Akirnya Gasih menemukan muara atas kekalutan jiwanya. Persis seperti musafir di padang pasir yang menemukan setetes air.

Kegersangan jiwanya telah dirapatkan semuanya dalam ngupil. Tidak ada yang tersisa sedikitpun. Semua relung relung kosong hatinya telah tertambat pada kegairahan fatamorgana. Gasih telah menemukannya. Gasih telah mendapatkan seluruh rasa ingin tahu dan jawaban atas setiap pertanyaan yang dianggap bodoh oleh orang lain. Rasa ini tidak ada bandingannya, seperti mendapat sejuta penghargaan dari atas istana kahyangan. Dalam aktifitas ngupilnya, Gasih tidak lagi membutuhkan orang lain. Gasih sudah cukup mapan dengan apa yang ia punya. Tidak perlu lima, tapi cukuplah satu jari saja yang bisa digoyangkan ke kanan dan ke kiri.

Sampai hari ini, tidak ada seorangpun yang tahu, kecuali seluruh pancainderanya yang terus berjaga jaga agar Nilam, putri kesayangannya tidak pernah merasakan siluwet hidup yang tidak pernah diinginkannya itu.  Satu waktu yang paling mengkhawatirkan Gasih baru baru ini, yaitu saat Nilam tenggelam dengan pencariannya tentang hakikat sahabat sejati. Meski hampir semua teman-teman cewek Nilam telah memiliki teman spesial yang berjenis kelamin cowok, Nilam masih bersikukuh pada prinsipnya tidak pernah ingin pacaran. Sedari kecil Gasih memang telah menanamkan prinsip ini pada Nilam. “Pacaran itu merugikan” simpul Nilam. Nilam spontan berubah menjadi sosok gadis pendiam. Sehari hari hanya duduk termenung dan befikir keras. Tidak seperti biasa, berbagai tema diskusi yang disodorkan Gasih tidak berhasil mengalihkan perhatian Nilam. Bagaimana tidak, kakak kelas yang selama ini diam-diam dikaguminya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Cowok itu mengutarakan isi hatinya lewat kiriman bunga dan coklat kesukaannya.

Gasih tidak bisa membiarkan keadaan ini berlarut, namun Gasih seperti kehilangan dirinya untuk melakukan yang terbaik untuk putrinya. Mendadak Gasih pun berubah menjadi hyperarousal. Gasih menjadi super tanggap dengan gerak gerik Nilam. Sedikit saja  Nilam mengangkat tangannya ke atas, dengan secepat kilat tangan Gasih menyambar jari-jari Nilam. Gasih sangat khawatir, tangan mungil milik Nilam akan mendarat ke hidungnya yang mancung.  Gasih menyesal dengan dirinya. Nilam pun bingung dibuatnya. “Oh Tuhan....mengapa aku menjadi begini” bisik Gasih. Gasih pura pura tidak tahu. Gasih kembali melanjutkan bacaannya meski Nilam yang duduk di sampingnya masih dalam keheranan menatap Gasih tanpa kata.

Meski sedikit berbalut galau, Gasih sangat bersyukur aktifitas ngupilnya telah lama ditinggalkannya. Menjelang ujian EBTANAS SMP duapuluhan tahun yang lalu, Delih, Kakak Gasih yang pertama mengajak Gasih ke dokter. Saat itu kedua hidung Gasih bengkak dan berdarah. Ketika itu Gasih memang sangat khawatir dengan nilai ujian EBTANASnya. Gasih tidak bisa meninggalkan aktifitas ngupilnya sedetikpun, hingga hidungnya bengkak, luka dan berlumurkan darah. Dokter memberi rujukan agar Gasih mendapatkan psikoterapi dari Psikolog. Tiga bulan lamanya Gasih rutin mengunjungi Ibu Dina, Psikolog terkenal di kota itu. Gasih ingat sekali dengan berbagai kegiatan terapi yang diberikan Ibu Dina.

Diam diam Gasih tersenyum membayangkan keduatangannya yang dengan suka rela diikatnya sendiri ketika pikirannya sedang galau. Gasih juga ingat betul bagaimana ia dengan bangganya menghadap Ibu Dina pada setiap pekannya sambil memperlihatkan lembaran tugasnya yang penuh bintang warna warni dan setelah itu ia pasti membawa banyak sekali hadiah pemberian Ibu Dina sambil bernyanyi nyanyi di sepanjang jalan. Seuntai senyum tersungkir di bibir Gasih. Lagi lagi Nilam melirik ibunya yang sedang duduk di sampingnya. “aneh...” pikir Nilam. “Tadi Ibu menyambarku yang tajamnya bagai petir, sekarang Ibu senyum senyum sendiri...” akhhh.........  

komen:


    • YuheRina 于麗娜 Gusman o.. itu makna ngupil :P xixixi.. bagus kak.. kaya pembelajaran, khususnya buat yg mau jadi ibu :) tapi.. hm... kendala saya dalam membaca cerpen ini.. sampai selesai membaca, sy masih luping (lupa2 ingat), gasih siapa.. nilam siapa... maksudnya, ada kekhawatiran tertukar, tadi yg jd ibu namanya gasih atau nilam ya...
      13 November 2011 at 22:46 · 
    • Hafnidar Hasbi hihii...kok bs bgt ya, sy jg begitu.. suka tertukar nama wkt nulis...ketahuannya pas membaca kembali. Apa karena cara penulis memposisikan Gasih (Ibu) dan Nilam (anak) itu sama ya? mhn pencerahannya :)
      13 November 2011 at 23:03 · 
    • Ashif Aminulloh 
      stelah baca sampai akhir, ternyata ini cerpen dengan tema yg sangat unik. ngupil sebagai penyakit psikologis, saya baru tahu, ta'kira sejak awal cerpen ini tentang persahabatan nilam dan gasih, ternyata mereka ini ibu dan anak.

      seperti komen saya sebelunya di cerpen mb yuher, cerpen ini juga menurut saya belum fokus kepada konflik. padahal ia punya potensi konflik yg sangat besar: ngupil dan terapinya. :D
      mungkin kalau bisa dieksplor lebih dalam ke aktivitas ngupil dan segala permasalahan dan kelucuannya serta keuinikannya ini akan jadi cerpen yang eksotis. seperti cerpen2 mas Joni Ariadinata yg juga sering mengeksplor sisi2 unik kehidupan. atau Seno Gumira atau Putut EA. Sastra memang adalah seni, dalam bentuk kata2. Dan eksplorasi jiwa sangat mungkin dilakukan dengannya. Kayaknya Bu Nidar punya bakat u jadi sastrawan nyentrik. :D

      u itu perbaikan di cerpen ini kalau menurut saya ada beberapa poin: tentang karakter, betul sekali mb yuher di komen di atas, kalau kt bingung dg tokoh ini siapa nama siapa, berarti penokohan kt belum sukses, karena itu tokoh harus ditajamkan. dg cara yg 3 tadi: 1.tunjukkan perilaku khusus tokoh, 2.percakapan tokoh, 3.tanggapan tokoh lain thdp tokoh itu.

      alur juga perlu diperbaiki, karena menurut saya alur di cerpen ini kurang membuat pembaca untuk terus terjebak pada bacaan. tidak ada misteri/konflik yg dibangun sejak dini. di awal ada perkenalan dengan gasih dan keluarganya, di tengah permasalahan si anak dg masa remajanya di akhir ada permasalahan ttg upil. ini sangat lebar dan menurut saya membuat pembaca agak bingung dengan cerita.

      satu lagi tentang gaya penceritaan, dalam teori menulis fiksi ada ungkapan umum u dipahami: show dont tell! tunjukkan jangan ceritakan. ini adalah cara paling efektif membuat tulisan kita terus menerus dinikmati pembaca. karena bahasa2 penuturan secara lugas membuat pembaca bosan, sementara itu pembaca akan tertarik dengan gaya pengggambaran, seperti: "Ia menarik gagang pintu dan melangkah gontai ke ruang seminar" kalimat ini akan lebih dinikmati pembaca ketimbang: "ia berangkat untuk mengisi seminar dengan malas"...

      oh ya, dalam menulis, harus juga dipertimbangkan efektifitas kalimat. tidak semua hal harus ditulis dan diceritakan pada pembaca, tujuan kita adalah membangun konflik yg membuat pembaca terus terusan membaca sampai akhir, kalau menulis terlalu bnyk kalimat dan informasi membuat pembaca tidak melanjutkan membaca, maka kita belum berhasil di tahap paling awal.

      kira2 sperti itu bu Nidar, semoga sharing ini bermanfaat. :)
      14 November 2011 at 00:40 ·  ·  1
    • Siti Allie Baru baca judulnya udah ketawa duluan, penasaran, saya baca dulu ah....
      14 November 2011 at 01:00 ·  ·  1
    • Nayo Aja 
      Hmmm...ga mudah membuat cerita yang lucu. Beberapa paragraf bikin ngakak. selamat mbak hafnidar, berhasil untuk ini.

      Seperti yg lain, Aku juga kesulitan mengingat nama tokoh. Dan seperti yang dikatakan masternya menurutku juga kurang fokus. Seperti di paragraf 8 yang titik fokusnya ke Nilam "Hari ini Nilam bangun lebih awal dari biasanya........" yang kemudian dilanjutkan diparagraf 9 yang masih mengupas ttg Nilam, tp anehnya fokus ini berpindah ke Gasih diakhir paragraf 9.

      Satu lagi, diparagraf 8 "Nilam terus bicara dalam hati sambil mengguliti seekor Ikan Tenggiri besar kesukaan orangtuanya. Ikan itu akan diolah Nilam menjadi Empek-empek kesukaan Galih dan suaminya." kalimat ini sepertinya ada yang anrh. Dan mungkin ini yang disebut kesalahan sudut pandang.
      14 November 2011 at 01:46 ·  ·  2
    • Hafnidar Hasbi 
      Terimakasih komentar dan masukannya Mb Yuher, Mas Ashif, Mb Siti Allie dan Mas Nayo Aja. Ini pengalaman kedua bikin fiksi. Ide cerita terinspirasi dari permasalhn psikologis. Memang benar seperti yg dikomentari, ketika menulis cerita ini sy...See more
      14 November 2011 at 02:13 · 
    • Nayo Aja Diparagraf 11, 12 dan 13 mbak, khususnya bagian akhir tiap paragraf tsb.

      Puncaknya ini : "....Akhirnya Gasih menemukan muara atas kekalutan jiwanya. Persis seperti musafir di padang pasir yang menemukan setetes air...." menurutku ini penggambaran yang berlebihan yang membuatku berimajinasi dan ngakak.
      14 November 2011 at 02:43 ·  ·  1

0 comments:

Post a Comment