Tuesday 3 January 2012

Tongkat

By HH

Semua ucapan Sabar menjadi nihil setelah seorang laki laki senja yang menggunakan tongkat itu turun dari mimbar khatib. “yang pasti dia penumpang juga, tidak ada identitas pada pakaiannya yang menunjukkan dia petugas kapal” ucap Aris seadanya. “Lalu siapa yang menemaninya? Bagaimana jika tongkatnya hilang atau ada yang sengaja menyembunyikan?” pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benak Sabar mengikuti setiap lintasan bayangan berwujud tongkat dalam imajinasinya.

“Kenapa kau tertarik sekali dengan tongkat kakek itu Bang?” tanya Aris dengan logat kental  Medan. “ah, tahu apa kau anak kecil” timpal Sabar seraya memegang bahu Aris yang masih setinggi pinggangnya. “Hari ini hari kedua kita berada di atas kapal besar yang bernama LAWIT ini dek”, buru buru Sabar berujar menghindari serangan pertanyaan Aris berikutnya. Sabar tahu betul cara Aris berfikir. Pasti Aris tidak akan tinggal diam dikatakan anak kecil meskipun ia benar benar masih kecil. “artinya.....” sambung Sabar kemudian. Sesaat terdengar suara helaan nafas milik Sabar. “Artinya, masih bersisa dua hari satu malam lagi perjalanan kita ke Tanjung Periok”, Sabar diam menatap tajam lepas jauh ke depan, seakan tatapan itu dapat menembus atmosfir yang mencapai kaki langit di seberang lautan sana.

“Bang, mengapa tidak kita jamak saja shalat kita bang”, tanya Aris sambil sedikit mendongak ke atas agar bisa melihat jelas wajah abangnya yang jangkung. “Tujuan Bapak dan Emak memintaku mengantar kau ke Gontor sekarang ini adalah agar kau tahu membedakan Shalat Jamak dan Shalat Qasar Ris!  tenang sajalah Ris, sebentar lagi kau juga akan tau itu semua!” ucap Sabar tajam.

“Lhaaaa.....kemaren  sebelum naik ke kapal ini kau bilang kita akan menjamak shalat kita bang, kenapa sekarang malah Abang tidak menepati bang” Aris berusaha melawan apa yang dikatakan abangnya. Dengan sekejab tubuh Sabar berbalik arah. Sabar menatap tajam adik semata wayangnya. Keduatangan Sabar mendekap keras kepalanya sendiri. Tidak lama kemudian tampak Sabar memutar kembali tubuhnya sambil sesekali diletakkan kepalanya di atas pagar besi teras kapal itu. Aris yang baru menamatkan Sekolah Dasar seperti tidak mengerti dengan keadaan Sabar, abangnya.

“Bang, kata Ibu Halimah, guru pelajaran Agama Islam di sekolah aku dulu, kalo mau menjamak shalat itu boleh bang, bagi musafir seperti kita ini bang” Aris kembali berseru dengan terbata-bata. ”Apalagi penumpang kelas ekomoni seperti kita, mau wudhu saja antriannya cukup panjang bang, belum lagi harus antrian makan, kamar mandi, antrian naik tangga menuju Mushala...”. Aris terus berucap sedang Sabar masih tidak bergerak dalam diamnya.

“Ting...ting...ting...”.  “ Nah itu bunyi alarm, kita harus segera menuju ke tempat antrian makan”, spontan Sabar memutar tubuhnya sambil meraih tangan adiknya siap menuju ke ruangan di sebelah dalam. “Bagaimana jika tiba tiba adzan berkumandang bang? Aku tidak mau malam ini kita tidak makan seperti siang tadi” Aris masih tidak mau melangkahkan kakinya. Dengan sekuat tenaga ditariknya genggaman tangan Sabar. Aris menatap lekat abangnya, meminta persetujuan atas pernyataannya. “Nanti saja kau lihat, ikuti saja dululah, janganlah kau keras kepala sama abangmu ini Ris” hardik Sabar tajam pada adiknya.

Tubuh Aris gontai mengikuti setiap langkah Sabar. Aris masih membayangkan betapa berat harus keluar dari barisan antrian panjang setelah mendengar suara Adzan nanti. Perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi malam ini. “Bang...Bang....!” tangan Aris berusaha menggoyang gepalan tangan Sabar yang memegangnya kuat. Sabar seperti tidak peduli meski diam diam Sabar kasihan pada adiknya. Namun bayangan tongkat itu kembali begitu kuat melarangnya untuk takluk pada saran adiknya.

Ingatan Sabar akan tongkat almarhum kakek 20 tahun yang lalu belumlah pudar. Meski kakek telah lama tiada, semua ajaran, petuah dan aktivitas bersama kakek masih jelas dalam ingatan Sabar.
Sabar kecil memang diasuh oleh kakek dan neneknya di kampung. Kakek seorang imam yang sangat disegani. Kakek memiliki balai pengajian yang rutin dikunjungi penduduk setiap hari, mulai dari anak- anak, remaja, sampai Ibu-ibu/Bapak-Bapak serta lansia. Didikan kakek sangat keras. Kakek tidak pernah membiarkan begitu saja santri yang belum bisa mengaji, atau santri yang belum bisa menghafal dan mengerti isi kitab tentang rukun iman dan islam. Tidak pun ada satu orang santri saja yang berani menentang kakek saat itu. Figur kakek begitu kuat dengan sebatang tongkat yang tidak pernah jauh dari kursi tempat ia duduk. Tongkat itu kerap digunakan kakek untuk memberi penjelasan bahkan untuk mengancam santri yang tidak serius belajar.

Kakek tidak pernah pilih kasih. Meski cucu sendiri, Sabar juga pernah berinteraksi dengan kekejaman tongkat milik kakek. Parut bekas luka di kaki sebelah kanan Sabar menjadi bukti bahwa Sabar pernah meninggalkan Shalat berjamaah akibat lalai bermain bersama kawan. Sabar yang saat itu masih berusia 7 tahun cukup shok mendapatkan hukuman itu. “Patuh dan belajarlah dengan baik karena kamu yang akan menggantikan kakek memimpin pondok ini” pesan kakek suatu hari. Pesan ini begitu berat dipikul Sabar kecil, hingga tidak sekalipun ia pernah mengijinkan dirinya berbuat kesalahan. Meskipun sampai sekarang, Sabar belum bisa memaafkan dirinya. “Bayangan tongkat kakek masih begitu kuat,  tongkat itu tidak pernah mengijinkanku untuk meninggal shalat sekalipun Tuhanku telah memberi fasilitas Jamak dan Qasar untuk diriku dan adikku” bisik Sabar pada dirinya sendiri, miris.....

Komen:


    • Siti Allie Kata Gontor mengingatkan aku pada novel Negeri Lima Menara Bu :)
      18 November 2011 at 08:00 ·  ·  1
    • Tina Yanesh he he pingin ketawa , ko nama kapal kita sama ya Mbak Hafnidar ^ ^
      18 November 2011 at 23:38 ·  ·  1
    • Nayo Aja I LIKE THIS.

      Tiba-tiba saja awak bisa bicara bahasa medan bah! hehe...

      Buatku ini lebih hidup dibanding tulisan sebelumnya. Idenya simple dan dikembangkan dengan menarik. Mengenai penokohan biar mas Ashif aja hehe. Cuma aku ga suka nama tokoh utamanya Sabar, dan jika nama ini ada korelasi dengan sifat dari tokoh tersebut, sepertinya koq ga ngena.

      btw tetep semangat mbak Hafnidar.
      19 November 2011 at 05:04 via Mobile ·  ·  1
    • Hafnidar Hasbi Thank Mas Nayo Aja, nama Sabar terinspirasi dari seorg tmn di medan, Sabar Sinaga....ya benar nama Sabar punya konotasi dgn sifat Sabar. Lbh sesuai dikash nama Sinaga atau Sitompul atau Sabaruwa....
      19 November 2011 at 09:30 · 
    • Kwek Li Na menikmati
      19 November 2011 at 15:34 via Mobile ·  ·  1
    • Ashif Aminulloh 
      meskipun sangat singkat, bu nidar berhasil memberikan penokohan yg kuat u tiga karakter yg muncul d cerpen ini. anak kecil yg serga ingin tahu dan kritis, pemuda yg keras kepala, juga seorang kakek yg disegani. beberapa catatan u cerpen:

      -ada deskripsi yg membuat sy bingung. kemungkinan karenap pnggunaan kalimat yg kurang efektif, atau mungkin diksi yg perlu sedikit disesuaikan. cntoh: "sambil sesekali diletakkan kepalanya di atas pagar besi teras kapal itu" apakah kita bisa meleakkan kepala sesekali di atas pagar besi? mungkin menyandarkan, atau bersandar. kalau meletakkan kepala saya jd mikir yg enggak2-ex:hantu tak berkepala.:D. nanti bisa kt pelajari lbh lanjut tentang pemilihan kata yg efektifi di bab DIKSI.

      -ttg tokoh anak, sudah bagus, penggambaran lewat eksplorasi pemikiran si aris membuat kita paham siapa aris dan apa motifnya dalam cerita ini. lalu sabar yg awalnya misterius, jadi terbuka di akhr bahwa ia sebenarnya punya ingatan traumatis tentang tongkat kakeknya. sementara kakek, nah ini yg mungkin perlu dieksplor lebih jauh. u menunjukkan bahwa seseorang memiliki sifat tertentu, kita sebaikny menghindari pengungkapan langsung. seperti: dia periang. lebih baik kalau: pak karso sering tersenyum dan menyanyi sendiri. nah, d penggambaran kakek jg begitu, kl bisa dihindari yg ini: "Kakek seorang imam yang sangat disegani". atau "Figur kakek begitu kuat"

      selebihnya, saya agak bingung dg alur cerita, kenapa kakek di awal yg muncul setelah khutbah lalu muncul di ingatan sabar sebagai penyebab ia tidak menjamak sholat? mungkin perlu ada satu paragraf yg menjelaskan lebih ttg apa yg sebenarny terjadi. terutama di paragraf2 akhir.

      overall ini cerpen dg penggambaran setting yg menarik. udah pernah naik kapal very ekonomi btulan ya bu? terus tingkatkan bu nidar...^^
      19 November 2011 at 23:08 ·  ·  1
    • Hafnidar Hasbi Terimakasih banyak Mas Ashif Aminulloh, comment2nya sangat menginspirasi saya utk terus belajar dan berlatih. Kayaknya mulai skr lbh cocok kalo saya panggil Pak Guru Ashif saja deh atau Ashif Aminulloh lowshe..:)
      20 November 2011 at 03:20 · 

0 comments:

Post a Comment