Tuesday 3 January 2012

Trauma

Mimpi itu damai dalam otakku yang mulai berkarat. Mimpi yang dulu ku agungkan sebagai dewa sesat, namun tak pernah lenyap. Senja yang muram membungkusnya dalam kenangan kelam tentang masa lalu. Aku tak  ingin kembali kemasa itu. Namun selalu saja aku tak mampu menolak ketika memori otakku mulai beranjak. Kesana.

Disana selalu kutemukan diriku yang dulu. Disebuah kapal tua dengan sepotong ikan basah, yang selalu dan selalu harus menjadi pengganjal perutku di pagi hari. Sedang seorang lelaki tua yang masih terlihat perkasa berada disampingku menyulamkan benang-benang kasar pada jaring-jaringnya. Kembali. Lelaki tua itu selalu dan selalu mengulang kata itu “Ikan itu bagus untuk otakmu. Suatu hari kamu akan percaya itu.” Dan seperti biasanya pula, kemudian  ia tersenyum yang kulihat seperti menyeringai kepadaku.

Disana selalu kutemukan diriku yang dulu. Berdiri ditepian kapal tua dengan hanya mengenakan kolor tanpa baju berlengan. Angin sepoi seperti biasa aku rasa. Tak ada beda. Dingin merasuk tulang yang mulai hampa. Dan tentu saja, seperti biasa aku tak sendiri siang itu. Lelaki tua yang masih terlihat perkasa, yang menganggap dirinya maha guru bagiku itu masih menemaniku. Ia terantuk-antuk menunggu dalam ketidakpastian jiwaku. Aku masih ragu. Malu yang tak pernah terucap, yang menghadirkan kelu dimulutku .

Masih disiang itu. Berdiri ditepian kapal tua, menatap lautan. Aku berusaha mengatakan beberapa kata agar lelaki tua yang terlihat perkasa, yang dilengan kanannya terdapat tato bergambar naga itu, mau mengertiku. “Aku tak mungkin menjadi sepertimu.” kataku masih ragu-ragu. “Aku tak akan pernah menjadi sepertimu.” Kataku lagi yang kemudian menangis tergugu. Dia hanya diam. Matanya kemudian menerawang. Entah, entah kemana. Mungkin kembali pada masa kejayaannya. Masa dimana dia menjadi perompak kapal. Yang memenangi peperangan dilautan. Kemudian menyambangi tiap daratan hanya untuk memamerkan, dialah penguasa lautan.

Disiang itu pula. Aku mendengar tawanya yang menggila. “Haaahahaaa tau apa kamu!” bentaknya. Perutnya yang rata kulihat terguncang-guncang menahan tawa. Sedang sayatan-sayatan merata kulihat disekujur tubuhnya. Entah mengapa, aku malah takut saat dirinya tertawa. “Lakukan saja! Terjun dan berenang sebisanya.” katanya tiba-tiba. Aku yang tak bisa apa-apa hanya mampu menurutinya. Terjun dan berenang sebisanya. Karena hanya itulah yang dapat menentramkan jiwanya.

Dia. Lelaki tua yang masih terlihat perkasa itu pernah berkata. Aku sebenarnya bukan cucunya. Karena sebenarnya dia tak pernah menikahi wanita. Hanya menidurinya saja. Aku ditemukan disebuah podok kayu saat dirinya terjaga. Setelah malam sebelumnya dia kalah dalam memerangi kapal lawannya, yang tak disangka menghancurkan kapalnya juga. Kemudian lautan menamparnya kedaratan. Disini, dipulau asing yang tak bersanak saudara, dia menemukanku disebuah podok kayu itu. “Mungkin saja ibu-bapakmu diterkam singa atau dimakan buaya yang mencari mangsa.” Dan dipulau ini pula, dia membangun mimpinya. Membuat kapal yang hampir sebesar kapal perompaknya. Dan sayangnya aku menjadi bulan-bulanan, disini bersamanya.

Disana selalu kutemukan diriku yang dulu. Menatap langit setelah melihat gambar-gambar yang tak pernah jelas yang dibuatnya. Tentang perbintangan. Yang seperti dituturkannya, itu yang menjadikannya mengetahui dimana dia berada, saat dilautan dulu. Kemudian, dimalam yang sama. Dia berteriak-teriak kearahku. Memerintah ini. Dan memerintah itu, dibalik kemudi kapalnya. Dia benar-benar gila.

Disana selalu kutemukan diriku yang dulu. Setelah bertahun-tahun dalam kengerian perlakuannya. Aku telah mencukupkan diseparo tidurku. Mengerjap-ngerjapkan mataku, mulai beranjak dari bangku kayu tempat tidurku. Mengambil sebuah golok panjang yang berkitat-kilat karena tajamnya. Mengenggam dan menyeretnya perlahan. Mendekati lelaki tua yang terlihat perkasa itu, mengayunkan kearahnya. Namun, aku tak bisa. Aku tak mampu membunuhnya.

Disana selalu kutemukan diriku yang dulu. Setelah 10 tahun hitunganku. Mungkin saja keliru. Kami akhirnya berangkat meninggalkan pulau yang tak bersanak saudara itu. Menjemput mimpi setelah aku mampu berenang gemilang dan membaca bintang-bintang. “Nanti kita akan hidup normal setelah menemukan pulau yang dihuni banyak orang.” Begitu dia bilang.

Disana selalu kutemukan diriku yang dulu. Bermalam-malam terombang-ambing dalam ketidak pastian. Melihat awan disiang yang benderang, melihat bintang yang temaram. Kami larut dalam angan-angan. Kapankah keajaiban itu datang, dan kami ditemukan dengan daratan.

Disana selalu kutemukan diriku yang dulu. Setelah berbulan-bulan, saat kapal kami porak poranda diterjang lautan. Sebuah kapal besar mempertemukan kami dengan daratan. Namun sayang, lelaki tua yang terlihat perkasa itu, tak dapat merasakan kemenangan. “Kami tak mampu mempertahankannya. Terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhnya.” Itu kata dokter yang merawatnya. Tubuhnya tak bertahan setelah terkoyak oleh serpihan kapalnya saat dirinya menyelamatkanku, dari amukan badai yang mengila. Kini jiwanya telah melayang. Entah kemana.

Dan disana akan selalu kutemukan diriku yang dulu. Meski saat ini telah 10 tahun berlalu, masih saja ku mengingatnya diotakku. Perkataannya. Yaa….mungkin benar katanya. Ikan itu bagus untuk otakku. Dan kini aku mulai mempercayainya. Otak yang masih segar untuk mengingat masa-masa menyeramkan itu. Otak yang mengingatkanku padanya. Lelaki tua dengan tato naga dilengan kanannya. Yang memberiku ikan basah untuk mengganjal perutku dipagi hari, yang menyuruhku melompat dan berenang sebisanya. Mengajariku membaca bintang-bintang dan mengenal lautan. Dan karenanya pula, aku tak mampu menolak ketika memori otakku itu, mulai beranjak. Kembali kesana. Entah sampai kapan.


komen:

    • Tina Yanesh pendapat saya...bagus mas Nayo... seperti biasa he he
      EYD nya, nama binatang awalannya kapital buaya=Buaya .
      ceritanya bagus, cuma narasinya terlalu panjang, alangkah baiknya diimbangi sama dialog..
      20 November 2011 at 13:47 · 
    • Minie Kholik saya sependapat dengan Mba Tina Yanesh, itu awalan ke, di yang menunjukan tempat belum dipisah Mas.
      20 November 2011 at 13:58 · 
    • Zainatuz Zahra bagus, cuman tepatnya hampir sajak AAAA, terlalu bnyak kata aku/ku permasalahnnya hmpir sma dgnku juga,he,he...terjebak dalam rangkaian kata'' yg puitis, lagi JATUH CINTA ya.....?
      20 November 2011 at 23:44 · 
    • Nayo Aja Makasih semua Tina YaneshMinie Kholik, m. Zainatuz Zahra, hehehehe banyak hal yang kurang memang (termasuk EYD), dan jelas bukan sedang jatuh cinta, cuma belajar nulis beda aja. Tapi sepertinya masih dan masih harus banyak belajar lagi. Tapi tetep semangat, soalnya bareng-bareng belajarnya. klo sendiri hmmmmm dah lenyap semangatnya. Sekali lagi makasih
      21 November 2011 at 00:22 · 
    • Nayo Aja Zainatuz Zahra berkata "permasalahnnya hmpir sma dgnku juga,he,he...terjebak dalam rangkaian kata'' yg puitis, lagi JATUH CINTA ya.....?"

      Jadi mbak tutus lagi jatuh cinta? hehehehehe
      21 November 2011 at 00:38 · 
    • Zainatuz Zahra tidak dpungkiri, tp hnya dlm angan ya...hi,hi...
      21 November 2011 at 08:39 · 
    • Siti Allie Nayo....semangat n ngebut ya...
      21 November 2011 at 22:35 · 
    • Nayo Aja Iya mbak. Ngebut nie, tp nunggu (tulisan) m. Siti Allie jg. Kapan diupload ya? Hehehe
      21 November 2011 at 23:23 via Mobile · 
    • Siti Allie aku sebenernya ga begitu bisa nulis cerpen, biasanya klo di tegur br giat, ini ga ada yg marahin sih jadi rada alon idenya, biasanya Okti yg rajin negur hehe...
      21 November 2011 at 23:36 · 
    • Nayo Aja Ini teguran lho mbak. Emang ga tau klo mukaku merah karena nunggu cerpen m. Siti dipublish. Besuk paling telat ya? HARUS!!
      21 November 2011 at 23:40 via Mobile · 
    • Siti Allie hehe..lumayan takut, ini lagi nyari ide kok :)
      21 November 2011 at 23:42 · 
    • Nayo Aja Pokoknya besuk. Ga da alasan repot/sibuk/ga ada waktu/ga da ide. Qta semua punya ribuan alasan yg sama. Jadi tetep semangat.
      21 November 2011 at 23:49 via Mobile ·  ·  1
    • Zainatuz Zahra pnyaq apanya yg kurang..? dkritik dong biar +maju bgt..!
      22 November 2011 at 08:19 · 
    • Tina Yanesh Mbak Tutuz... punya Mbaknya nunggu senior aja deh... saya gak berani, plus gak ngerti cepen he he, kalau Nayo ini dah biasa sih he he
      22 November 2011 at 10:55 · 
    • Ashif Aminulloh 
      Mas Nayo Aja kembali memesona dg gaya bertutur dan pilihan diksi. Sangat menyentuh dan penuh perasaan. Ini modal besar sastrawan yg harus dipupuk terus mas

      Cerpen ini bercerita tentang dua orang tokoh yg terdampar di pulau dengan kondisi masing2 yang saling menawan. si kakek yang adalah perompak dengan kepentingan pergi secepatnya dari pulau, tp butuh bantuan u membuat kapal, sementara si anak yg dimanfaatkan si kakek untuk membantunya membuat kapal sangat benci dengan kakek karena arogansi nya namun merasa kasihan dan butuh pada si kakek. Kondisi ini menawan masing2 tokoh untuk berlaku saling membatasi diri dan terjebak satu sama lain.

      dari sini saja cerpen ini bisa dinilai sgt bgus. ide ceritanya beda dan alurnya dramatis. di akhir cerita sang kakek meninggal. meski tidak begitu jelas sebabnya. itu membuat si anak terpukul. saya terkesan dg alur ini. namun saya agak terganggu dengan pembukaan, kenapa harus diawali dengan gaya abstrak.

      "Mimpi itu damai dalam otakku yang mulai berkarat. Mimpi yang dulu ku agungkan sebagai dewa sesat, namun tak pernah lenyap."

      tidak begitu jelas apa yg ingin digambarkan mas nayo di kalimat ini. ini membuat pembaca bingung. mimpi damai di otak berkarat, mungkin punya makna kontradiktif tapi tidak terlalu punya hubungan, jadi bikin pembaca njlimet. lalu mimpi yang jadi dewa sesat, namun tidak lenyap. ini juga tidak memberi kesan tertentu, malah saling meniadakan satu sama lain. ada indikasi mas nayo membuatnya jadi rima. berakhiran yg sama. (apa benar begitu?) kalau iya, mungkin perlu dipertegas terlebih dulu, perasaan apa yg ingin dibangun, baru munculkan kata yg tepat. Ingat, satu kata berbeda dalam satu paragraf bisa membuat keseluruhan paragraf atau bahkan cerita terkesan berbeda. Ini nanti kt pelajari di bab DIKSI.

      Lalu tentang penokohan. Mas Nayo berhasil membuat tokoh yg sgt berkesan. Seorang kakek yg pongah dan arogan, dan seorang anak kecil yg lugu, lemah dan tidak berdaya, namun penuh perasaan. Mas Nayo berhasil membuat pembaca paham tokoh tanpa menulis nama (selamat...:)) namun yg perlu diperhatikan adalah u. tokoh kakek, Mas Nayo agak kurang konsisten. Di awal ia digambarkan arogan, dengan tawa terbahak juga waktu menyuruh si anak berenang. Namun di tengah ia muncul dg gaya kebapakan yg mengayomi. ini kontradiktif.

      “Nanti kita akan hidup normal setelah menemukan pulau yang dihuni banyak orang.” Begitu dia bilang.

      Ini membuat gambaran ttg kakek sebelumnya runtuh. atau setidakny bikin pembaca bingung. Menurut saya biarkan saja si kakek ini sombong, pngah, arogan, namun dia punya sisi manusia juga bahwa ingin mnyelamatkan anak, jadi bahasanya bisa lebih tegas/keras. Dan si anak, harus tetap digambarkan lemah, penuh perasaan, ingin berontak namun kalah dg perasaannya sendiri. Dua tokoh ini saja, kalau konsisten, sudah bisa bikin cerpen ini jd seru.

      Satu lagi tentang setting. Pulau yg sepi tak berpenghuni harusnya digambarkan dg lebih liar. mungkin ada tetumbuhan aneh, atau ular berkeliaran, atau serigala mengaum. Ini bisa dieksplor sehingga membikin cerita lebih hidup. Ibarat sebuah film, setting ini adalah efek animasi dan suara latar. Bayangkan kalau meski film aktornya berakting bagus, ceritanya seru, namun gambar dan musiknya jadul, pasti jadi g seru.

      Tentang dialog, memang hanya ada sedikit d cerpen ini. tp itu tdk masalah. cerpen/novel sastra yg idealis memang memberi porsi byk pada narasi dan pergulatan perasaan, ketimbang diskusi ringan. Tp ini jg jadi pertimbgn jika narasi yg dsusun blm eksploratif. Maka, perlu diperbaiki beberapa narasi yg membuat bingung tadi, sehingga tetap memikat meski tanpa diskusi yg banyak.

      Saya ingat novelnya ernest hammingway yg the old man and the sea (lelaki tua dan laut) waktu baca cerpen ini. Serius, tpi ide cerita ini benar2 bagus. harus ada perkembangn d narasi, alur, tokoh juga setting. sehingga bs jadi sastra berbobot yg bs tembus tempo/kompas. Semangat mas Nayo...
      22 November 2011 at 21:27 ·  ·  3
    • YuheRina 于麗娜 Gusman belajar banyak dari karya ini dan komen nya om Ashif Aminulloh :) Seingat saya Mas Nayo Aja memang penyuka karya berkelas yg biasa tayang di tempo/kompas. Menanti saat karya Mas Nayo nonggol di sana :)
      22 November 2011 at 22:00 ·  ·  1
    • Nayo Aja 
      Hmm...makasih banyak Mas Ashif Aminulloh, atas masukan dan sarannya. Banyak hal yang terlewatkan tanpa aku sadari, termasuk konsistensi penokohan kakek. Bahkan kecolongan juga ada diparagraf pertama, yang saya anggap pintu pembuka ceritanya...See more
      23 November 2011 at 12:14 ·  ·  1
    • Hafnidar Hasbi btw, sy kl baca cerpen2 berkelas itu kok sering bosen ya, atau tepatnya nggak ngerti, nggak mudeng kt org jawa. Apa krn sastranya terlalu tinggi ya atau jgn2 krn nama mrk sdh dikenal jadi asal membolak balikkan kata2 saja..?
      23 November 2011 at 13:53 ·  ·  1
    • Tina Yanesh Mbak Hafnidar sama seperti saya ^ ^
      cerpen2 yang masuk nominasi ataupun yang juara lomba penyampaiannya nyastra bngt, kelas saya belum nyampai situ ^ ^
      kadang gak paham apa yang diceritakan... njilimet dan panjang narasinya...
      saya jadi salur sama jurinya he he
      23 November 2011 at 14:02 ·  ·  1
    • Hafnidar Hasbi cerpen mas Nayo Aja bagus banget, tapi judulnya kok trauma ya?
      23 November 2011 at 14:02 · 
    • Hafnidar Hasbi wah kelihatannya kita hrs banyak baca karya sastra ni mb Tina Yanesh, biar ketularan nyastranya..:)
      23 November 2011 at 14:05 · 
    • Tina Yanesh Mbak Hafnidar..mungkin setiap penulis punya ciri khas dalam setiap penyampaian tlisannya... walapun gak ada salahnya nyoba, tapi seperti kata Pak Guru Ashif, tulisan ada alur , konflik juga ending...
      niru gaya orang lain boleh aja c, tapi gimna pembaca mau paham wong kita yang nulis gak ngerti he he

      judul cerpen mas Nayo itu malah ccocok buat cerpennya mbak Tutus he he..*plak ^ ^
      23 November 2011 at 14:09 ·  ·  2
    • YuheRina 于麗娜 Gusman 
      setuju dengan Mbak Tina Yanesh, semua orang punya gaya menulis masing-masing. Dan justru, menurut saya, yg harus dimiliki oleh seorang penulis itu adalah ke-khas-an nya itu sendiri. Meniru atau mencontoh gaya atau cara seseorang mungkin bis...See more
      23 November 2011 at 14:33 ·  ·  1
    • Nayo Aja 
      Setuju kata m. Tina, semua orng pnya gaya sediri dalam mengungkapkan idenya. Mungkin kita jangan gunakan kata ''berkelas'' untuk sebuah karya kali ye hehe, karena pada akhirnya subjektif. Sebuah cerpen lolos diperlombaan A belum tentu diper...See more
      23 November 2011 at 18:45 via Mobile ·  ·  2
    • Tina Yanesh mas Nayo..cocok ^ ^, aku sering baca cerpen2 kompas,,, untuk memahaminya ahrus baca sampai 2 kali..*o'on ya heheeh
      23 November 2011 at 20:30 · 
    • Ashif Aminulloh 
      wah, diskusi menarik...

      perlu kita pahami, kalau selain penulis, sastrawan, ada juga yg namanya kritikus sastra. mereka ini akademisi d bidang sastra, dosen sastra, atau peneliti budaya, biasanya juga ikut nulis tp nulis kritik u penulis. ...See more
      23 November 2011 at 21:58 ·  ·  3
    • Tina Yanesh wah tambah ilmu lagi nih ^ ^ .. makasih
      23 November 2011 at 22:03 · 
    • Siti Allie Saya nulis cerpen aja ga bisa...sastra idealis, sastra populer aja br ngerti dari mas Ashif :)

      Klo karya2 kang Abik itu termasuk karya populer ya mas Ashif Aminulloh? trs semacam Oskep nya Arswendo Atmowiloto apa itu yang dinamakan sastra idealis?

      makasih buat ilmu yg berharga mas :)
      23 November 2011 at 22:21 · 
    • Ashif Aminulloh 
      iya mb. kang abik sastra populer, tp sering bgt dibahas kalo di diskusi akademisi, ttg fenomena ayat2 cinta, cz pengaruhnya yg sgt besar dr segi budaya.

      oskep, hmm, saya malah blm baca, mungkin kalo arswendo bs jadi masuk populer, yg kelu...See more
      23 November 2011 at 22:31 · 
    • Hafnidar Hasbi menarik jg kl kt bisa memadukan keduanya ya (sastra idealis & sastra populer). Titip salam buat Mb Afifah Afra A ya PG Ashif, teman sy wkt di Undip, sy kalah semangat dari beliau...hiks
      23 November 2011 at 23:11 · 
    • Nayo Aja Dapat pencerahan. Idealis atau populer pada akhirnya tergantung interest kita kemana. Anehnya aku hampir ga kenal nama-nama penulis yang masuk golongan idealis. Cuma mb Helvi yang aku kenal. Kalau mb Djenar masuk mana, mas?
      23 November 2011 at 23:31 via Mobile · 
    • Hafnidar Hasbi ya benar, semuanya kembali pada pribadi masing2. Maaf td menggunakan kata2"kita" harusnya "saya". Saya tertarik memadukan keduanya, sedang belajar mudah2an bisa. Siapa ya bs dijadikan referensi dalam hal mix tulisan ini?
      23 November 2011 at 23:38 · 
    • Ashif Aminulloh 
      mas Nayo Aja, iya mas, kt cuma perlu menulis aja, sesuai dg yg kita senangi, masalah penggolongan itu biar org lain yg mengurus. wah, mas Nayo harus kenalan dg mas Joni. dy dedengkot FLP Jogja. dulunya tukang becak dan pengamen, skrg dia re...See more
      24 November 2011 at 09:16 ·  ·  2 · 
    • Ashif Aminulloh 
      bu Hafnidar Hasbi, iya, kita bisa memadukan dua2nya. jd penulis populer yg idealis. kaya yg sukses dg ini ctohnya andrea hirata. byk yg bilang karyanya idealis, tp sgt laku d pasaran. mb helvi itu juga populer tp idealis. mas sakti wibowo i...See more
      24 November 2011 at 09:23 ·  ·  2
    • Hafnidar Hasbi semoga sy bisa spt mrk, menghasilkn karya yg bernilai amal kebaikan, amin...trims PG Ashif. Oya, Afra A A itu sbnrnya nama penanya, iya satu angkatan tp beda fak beliau mipa biologi. Dulu msh sm2 memulai, tp beliau larinya cepat sekali :)
      24 November 2011 at 13:39 ·  ·  1

0 comments:

Post a Comment